Rusdianto Matulatuwa, S.H.
"Bapak Luar Kawin" harus tanggungjawab pada anak luar kawin
Kasus Machica Mochtar seharusnya menyentuh hati para hakim. Hanya karena alasan dasar hukum yang dibuat manusia, yang notabene tidak luput dari salah, hak dan nasib seorang manusia bisa ditiadakan. Hanya karena peraturan, seorang anak kandung bisa tidak diakui atau dianggap oleh bapaknya karena hasil dari hubungan "luar kawin" (menurut hukum manusia). Melalui Mahkamah Konstitusi Tuhan mengulurkan tanganNya untuk mengatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan itu adalah anak dari bapak yang menghamili ibunya tersebut. Sehingga bapak yang menghamilli itu harus bertanggungjawab. Namun sayang, tangan Tuhan tidak sampai di pengadilan agama sehingga jalan panjang dan terjal masih harus dilalui Machica.
Ini adalah tulisan singkat Rusdianto Matulatuwa, advokat yang setia mengantar Machica dan anaknya, M. Iqbal Ramadhan dalam mencapai cita-cita untuk sekedar mendapatkan selembar surat pengakuan sebagai bapak dari Iqbal. Sehingga nantinya Iqbal tidak lagi sedih ketika harus mengisi data riwayat hidupnya untuk keperluan sekolah dan lain-lain, yaitu nama ayahnya : Moerdiono. Mudah-mudahan para hakim agama itu terketuk hatinya untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, dan keadilan sesungguhnya.
Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, undang-undang sebagai aturan tertulis merupakan sumber hukum utama. Dalam sistem ini hakim hanya menerapkan undang-undang dalam suatu perkara atau masalah yang sedang diperiksanya, meskipun Undang-undang Kekuasan Kehakiman menggariskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini mengacu pada pasal
5 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang sebagai sumber hukum tertulis tentunya suatu saat nanti tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Suatu undang-undang hanya mampu mengakomodasi permasalahan ketika undang-undang tersebut diundangkan, namun selebihnya undang-undang tidak akan mampu mengakomodasi permasalahan di waktu yang akan datang.
Dengan sistem yang menjadikan undang-undang tertulis sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, dalam tataran aplikatif ternyata tidak bisa memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Seringkali malah peraturan tertulis itu bertentangan dengan ketentuan normatif dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertentangan ini mengakibatkan kerugian hak konstitusi dari warga negara. Untuk itulah kemudian lahirlah sebuah lembaga bernama Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.
Saat menangani perkara Aisyah Mochtar alias Machica binti H Mochtar Ibrahim, penulis berpendapat bahwa berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah melanggar hak konstitusional Machica binti H Mochtar Ibrahim.
Berlakunya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1), ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Tahun 1945. Atas dasar ketentuan UUD ini Machica berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selain itu anaknya pun berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dari kasus Machica, menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak dari Machica Mochtar hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya. Dengan demikian pasal ini tidak memenuhi rasa keadilan, dan dalam tataran yuridis bertentangan dengan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi (Undang-Undang Dasar) yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Atas dasar hak konstitusi yang dilanggar oleh berlakunya ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Senin, tanggal 14 Juni 2010, Machica Mochar mengajukan permohonan uji materiil terhadap kedua pasal ini. Hasilnya : Mahkamah Konstitusi RI dengan Putusan Nomor:46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan sebagian atas permohonan Machica Mochtar. Dengan keputusan ini ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, harus dibaca, "Anak dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Terlepas dari pro dan kontra atas putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi RI telah melakukan terobosan dan sekaligus mendobrak sistem hukum keluarga dan harta kekayaan di Indonesia. Karena putusan tersebut membentuk norma hukum baru, maka timbul suatu implikasi dalam lapangan hukum keluarga dan harta kekayaan, baik dalam sistem hukum perdata barat maupun dalam sistem hukum Islam.
Latar Belakang Uji Materiil
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor:46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 ini, tentunya bukan sekonyong-konyong jatuh dari langit. Sebelum mengajukan permohonan uji materiil, penulis beserta tim telah melakukan kajian mendalam dan melewati perjuangan lama untuk mempertahankan hak-hak anak Machica yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kami berjuang mulai dari pengaduan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sampai mengajukan permohonan itsbat nikah melalui Pengadian Agama Tigaraksa, Tangerang.
Awal kisah ini bermula pada 20 Desember 1993, di Jakarta, Machica melangsungkan pernikahan dengan Drs. Moerdiono. Seperti kita ketahui Moerdiono adalah seorang menteri waktu itu. Dalam pernikahan itu, wali nikahnya adalah almarhum H. Mochtar Ibrahim yang merupakan bapak kandung Machica. Sedangkan yang bertindak sebagai saksi nikah adalah KH Yusuf Usman dan Risman. Sementara itu maharnya adalah seperangkat alat shalat, mata uang Arab sejumlah 2.000 riyal, satu set perhiasan emas, berlian dibayar secara tunai.
Dari perkawinan antara Machica dengan Moerdiono, di Jakarta pada Senin, 05 Februari 1996, pukul 08.40 WIB telah lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Ironisnya, Moerdiono semasa hidupnya sampai meninggal, tidak pernah mengakui Muhammad Iqbal Ramadhan adalah anak biologisnya. Untuk ini, atas surat dari penulis, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) berusaha untuk menjembatani. Sayangnya Moerdiono tidak mempunya itikad baik untuk menanggapi KPAI.
Selanjutnya Machica juga mengajukan permohonan itsbat nikah melalui Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang yang terdaftar dalam Nomor: 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs. Lagi-lagi Machica gagal karena menurut Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, dalam penetapan tertanggal 18 Juni 2008/ 14 Jumadil Ula 1429 Hijriyah, perkawinan antara Machica Mochtar dan Drs. Moerdiono tidak dapat dicatatkan. Alasan hakim, karena pada waktu menikahi Machica, Moerdiono berstatus sebagai suami wanita lain yang belum dicerai. Sementara, lanjut sang hakim, Moerdiono juga tidak mempunyai ijin berpoligami, sehingga terdapat halangan Machica.
Dari penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs, disimpulkan bahwa perkawinan antar Machica dan Moerdiono tidak dapat dicatatkan. Akibatnya perkawinan tersebut tidak diakui negara, serta anak yang lahir dari perkawinan tersebut, tidak diakui oleh negara sebagai anak dari hasil perkawinan Machica dan Moerdiono. Menurut Pasal 43 yat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Muhammad Iqbal Ramadhan hanya mempunyai hubungan hukum perdata "dengan ibunya dan keluarga ibunya". Karena tidak mendapat keadilan atas peristiwa hukum, Ia mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi RI.
Implikasi Putusan MK
Dengan putusan ini, Mahkamah Konstitusi telah memenuhi rasa keadilan bagi anak luar kawin. Hal ini tampak pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa:
"Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya. Tanggungjawab sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum
meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal-balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak.
Berdasarkan uraian ini, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedural/ administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak, yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sebab anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dan stigma (negatif-red) di masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan."
Lantas bagaimana kaitan putusan ini dengan hukum orang dan keluarga serta hukum waris di Indonesia? Menurut pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Dari pasal 43 ayat (1) itu disimpulkan bahwa muatan pasal ini merupakan norma hukum yang bersifat materiil, yaitu : anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya serta mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya dan keluarga ayahnya. Sedangkan frasa selanjutnya yang menyatakan bahwa "yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah adalah bersifat hukum formil."
Dari pengklasifikasian norma hukum yang bersifat materiil dan bersifat formil diatas, dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya serta mempunyai hubungan perdata dengan laki laki sebagai ayahnya dan keluarga ayahnya. Sedangkan norma hukum yang bersifat formil mempunyai kekuatan berlaku ketika si Ayah tersebut mengingkari anak luar kawin tersebut bukan anak biologisnya. Berlakunya norma hukum yang bersifat materiil adalah "otomatis" atau "demi hukum". Sehingga demi hukum, anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya serta mempunyai hubungan hukum pula dengan ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya.
Oleh karena anak luar kawin secara demi hukum mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, berlakulah ketentuan alimentasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 dan pasal 46 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Konsekuensi dari hubungan perdatanya, apabila si Ayah meninggal dunia, maka anak luar kawin adalah ahli waris yang sah menurut hukum dari Ayah biologisnya. Meskipun dalam Pasal 280 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, hubungan perdata anak luar kawin dengan Bapak atau Ibunya harus melalui pengakuan Menurut penulis, dengan mendasarkan pada asas lex posterior derogat lex priori, ketentuan dalam Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 Kitab Undang Undang Hukum Perdata harus dikesampingkan. Terlebih lagi dalam tataran praktis, Kitab Undang Undang Hukum Perdata harus dikesampingkan, juga dalam tataran praktis, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) dianggap bukan sebagai undang-undang, sehingga Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah tidak berlaku mengikat. Perlu diketahui, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek) yang kita pakai sekarang ini dianggap bukan sebagai "undang-undang" oleh Mahkamah Agung seperti tercantum di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 tahun 1963 tertanggal 5 September 1963.
Dalam kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan Ibunya dan keluarga Ibunya. Sementara itu kompilasi Hukum Islam dalam hukum positif adalah sebuah Instruksi Presiden (Inpres), yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Lantas muncul pertanyaan, apakah materi muatan sebuah Inpres dapat bertentangan dengan undang-undang. Menurut penelusuran penulis terhadap kompilasi Hukum Islam, tidak terdapat larangan yang tegas dan jelas bahwa anak luar kawin memiliki halangan menjadi ahli waris ayah biologisnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 merupakan revolusi dalam lapangan hukum keluarga dan harta kekayaan. Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan binding (mengikat) bagi seluruh warga negara Indonesia. Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-undangan terkait di bawahnya, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari Putusan MK itu selengkapnya dapat diambil beberapa poin mengenai tujuan pengubahan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yaitu :
1. Setiap kelahiran secara alamiah pastilah didahului kehamilan seorang perempuan akibat terjadinya pembuahan melalui hubungan seksual dengan lelaki atau melalui rekayasa teknologi.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memungkinkan ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap kelahiran sang anak sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum.
3. Terkait perspektif UU Perkawinan yang memiliki karakter khas dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara.
4. Adanya perlakuan yang adil terhadap setiap anak yang dilahirkan meskipun perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian.
5. Menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
6. Menjamin masa depan anak sebagaimana anak-anak pada umumnya.
7. Memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus bertanggung jawab atas tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, dalam hal ini menyebabkan lahirnya anak, pihak laki laki tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut.
Kasus Machica Mochtar seharusnya menyentuh hati para hakim. Hanya karena alasan dasar hukum yang dibuat manusia, yang notabene tidak luput dari salah, hak dan nasib seorang manusia bisa ditiadakan. Hanya karena peraturan, seorang anak kandung bisa tidak diakui atau dianggap oleh bapaknya karena hasil dari hubungan "luar kawin" (menurut hukum manusia). Melalui Mahkamah Konstitusi Tuhan mengulurkan tanganNya untuk mengatakan bahwa anak yang lahir dari perkawinan itu adalah anak dari bapak yang menghamili ibunya tersebut. Sehingga bapak yang menghamilli itu harus bertanggungjawab. Namun sayang, tangan Tuhan tidak sampai di pengadilan agama sehingga jalan panjang dan terjal masih harus dilalui Machica.
Ini adalah tulisan singkat Rusdianto Matulatuwa, advokat yang setia mengantar Machica dan anaknya, M. Iqbal Ramadhan dalam mencapai cita-cita untuk sekedar mendapatkan selembar surat pengakuan sebagai bapak dari Iqbal. Sehingga nantinya Iqbal tidak lagi sedih ketika harus mengisi data riwayat hidupnya untuk keperluan sekolah dan lain-lain, yaitu nama ayahnya : Moerdiono. Mudah-mudahan para hakim agama itu terketuk hatinya untuk melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi, dan keadilan sesungguhnya.
Di dalam sistem hukum Eropa Kontinental, undang-undang sebagai aturan tertulis merupakan sumber hukum utama. Dalam sistem ini hakim hanya menerapkan undang-undang dalam suatu perkara atau masalah yang sedang diperiksanya, meskipun Undang-undang Kekuasan Kehakiman menggariskan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini mengacu pada pasal
5 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang sebagai sumber hukum tertulis tentunya suatu saat nanti tidak sesuai dengan perkembangan jaman. Suatu undang-undang hanya mampu mengakomodasi permasalahan ketika undang-undang tersebut diundangkan, namun selebihnya undang-undang tidak akan mampu mengakomodasi permasalahan di waktu yang akan datang.
Dengan sistem yang menjadikan undang-undang tertulis sebagai sumber hukum yang utama dan pertama, dalam tataran aplikatif ternyata tidak bisa memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Seringkali malah peraturan tertulis itu bertentangan dengan ketentuan normatif dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pertentangan ini mengakibatkan kerugian hak konstitusi dari warga negara. Untuk itulah kemudian lahirlah sebuah lembaga bernama Mahkamah Konstitusi. Lembaga ini berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar.
Saat menangani perkara Aisyah Mochtar alias Machica binti H Mochtar Ibrahim, penulis berpendapat bahwa berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah melanggar hak konstitusional Machica binti H Mochtar Ibrahim.
Berlakunya Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan Pasal 28B ayat (1), ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) Undang Undang Dasar Tahun 1945. Atas dasar ketentuan UUD ini Machica berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Selain itu anaknya pun berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dari kasus Machica, menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak dari Machica Mochtar hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya. Dengan demikian pasal ini tidak memenuhi rasa keadilan, dan dalam tataran yuridis bertentangan dengan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi (Undang-Undang Dasar) yaitu hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Atas dasar hak konstitusi yang dilanggar oleh berlakunya ketentuan dalam pasal 2 ayat (2) dan pasal 43 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Senin, tanggal 14 Juni 2010, Machica Mochar mengajukan permohonan uji materiil terhadap kedua pasal ini. Hasilnya : Mahkamah Konstitusi RI dengan Putusan Nomor:46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 mengabulkan sebagian atas permohonan Machica Mochtar. Dengan keputusan ini ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, harus dibaca, "Anak dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Terlepas dari pro dan kontra atas putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi RI telah melakukan terobosan dan sekaligus mendobrak sistem hukum keluarga dan harta kekayaan di Indonesia. Karena putusan tersebut membentuk norma hukum baru, maka timbul suatu implikasi dalam lapangan hukum keluarga dan harta kekayaan, baik dalam sistem hukum perdata barat maupun dalam sistem hukum Islam.
Latar Belakang Uji Materiil
Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor:46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 ini, tentunya bukan sekonyong-konyong jatuh dari langit. Sebelum mengajukan permohonan uji materiil, penulis beserta tim telah melakukan kajian mendalam dan melewati perjuangan lama untuk mempertahankan hak-hak anak Machica yang bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Kami berjuang mulai dari pengaduan kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sampai mengajukan permohonan itsbat nikah melalui Pengadian Agama Tigaraksa, Tangerang.
Awal kisah ini bermula pada 20 Desember 1993, di Jakarta, Machica melangsungkan pernikahan dengan Drs. Moerdiono. Seperti kita ketahui Moerdiono adalah seorang menteri waktu itu. Dalam pernikahan itu, wali nikahnya adalah almarhum H. Mochtar Ibrahim yang merupakan bapak kandung Machica. Sedangkan yang bertindak sebagai saksi nikah adalah KH Yusuf Usman dan Risman. Sementara itu maharnya adalah seperangkat alat shalat, mata uang Arab sejumlah 2.000 riyal, satu set perhiasan emas, berlian dibayar secara tunai.
Dari perkawinan antara Machica dengan Moerdiono, di Jakarta pada Senin, 05 Februari 1996, pukul 08.40 WIB telah lahir seorang anak laki-laki bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Ironisnya, Moerdiono semasa hidupnya sampai meninggal, tidak pernah mengakui Muhammad Iqbal Ramadhan adalah anak biologisnya. Untuk ini, atas surat dari penulis, KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) berusaha untuk menjembatani. Sayangnya Moerdiono tidak mempunya itikad baik untuk menanggapi KPAI.
Selanjutnya Machica juga mengajukan permohonan itsbat nikah melalui Pengadilan Agama Tigaraksa, Tangerang yang terdaftar dalam Nomor: 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs. Lagi-lagi Machica gagal karena menurut Majelis Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, dalam penetapan tertanggal 18 Juni 2008/ 14 Jumadil Ula 1429 Hijriyah, perkawinan antara Machica Mochtar dan Drs. Moerdiono tidak dapat dicatatkan. Alasan hakim, karena pada waktu menikahi Machica, Moerdiono berstatus sebagai suami wanita lain yang belum dicerai. Sementara, lanjut sang hakim, Moerdiono juga tidak mempunyai ijin berpoligami, sehingga terdapat halangan Machica.
Dari penetapan Pengadilan Agama Tigaraksa Nomor 46/Pdt.P/2008/PA.Tgrs, disimpulkan bahwa perkawinan antar Machica dan Moerdiono tidak dapat dicatatkan. Akibatnya perkawinan tersebut tidak diakui negara, serta anak yang lahir dari perkawinan tersebut, tidak diakui oleh negara sebagai anak dari hasil perkawinan Machica dan Moerdiono. Menurut Pasal 43 yat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Muhammad Iqbal Ramadhan hanya mempunyai hubungan hukum perdata "dengan ibunya dan keluarga ibunya". Karena tidak mendapat keadilan atas peristiwa hukum, Ia mengajukan permohonan pengujian terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 ke Mahkamah Konstitusi RI.
Implikasi Putusan MK
Dengan putusan ini, Mahkamah Konstitusi telah memenuhi rasa keadilan bagi anak luar kawin. Hal ini tampak pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa:
"Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Tidak tepat dan tidak adil jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya. Tanggungjawab sebagai seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum
meniadakan hak-hak anak terhadap laki-laki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan teknologi memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban secara timbal-balik, yang subjek hukumnya meliputi anak, ibu dan bapak.
Berdasarkan uraian ini, hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedural/ administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan hukum. Jika tidak, yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Sebab anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.
Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan tidak adil dan stigma (negatif-red) di masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan."
Lantas bagaimana kaitan putusan ini dengan hukum orang dan keluarga serta hukum waris di Indonesia? Menurut pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya."
Dari pasal 43 ayat (1) itu disimpulkan bahwa muatan pasal ini merupakan norma hukum yang bersifat materiil, yaitu : anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya serta mempunyai hubungan perdata dengan laki-laki sebagai ayahnya dan keluarga ayahnya. Sedangkan frasa selanjutnya yang menyatakan bahwa "yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah adalah bersifat hukum formil."
Dari pengklasifikasian norma hukum yang bersifat materiil dan bersifat formil diatas, dapat disimpulkan bahwa anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya serta mempunyai hubungan perdata dengan laki laki sebagai ayahnya dan keluarga ayahnya. Sedangkan norma hukum yang bersifat formil mempunyai kekuatan berlaku ketika si Ayah tersebut mengingkari anak luar kawin tersebut bukan anak biologisnya. Berlakunya norma hukum yang bersifat materiil adalah "otomatis" atau "demi hukum". Sehingga demi hukum, anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya serta mempunyai hubungan hukum pula dengan ayah biologisnya dan keluarga ayah biologisnya.
Oleh karena anak luar kawin secara demi hukum mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya, berlakulah ketentuan alimentasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 dan pasal 46 Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Konsekuensi dari hubungan perdatanya, apabila si Ayah meninggal dunia, maka anak luar kawin adalah ahli waris yang sah menurut hukum dari Ayah biologisnya. Meskipun dalam Pasal 280 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, hubungan perdata anak luar kawin dengan Bapak atau Ibunya harus melalui pengakuan Menurut penulis, dengan mendasarkan pada asas lex posterior derogat lex priori, ketentuan dalam Pasal 280 sampai dengan Pasal 289 Kitab Undang Undang Hukum Perdata harus dikesampingkan. Terlebih lagi dalam tataran praktis, Kitab Undang Undang Hukum Perdata harus dikesampingkan, juga dalam tataran praktis, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) dianggap bukan sebagai undang-undang, sehingga Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah tidak berlaku mengikat. Perlu diketahui, Kitab Undang-undang Hukum Perdata (burgerlijk wetboek) yang kita pakai sekarang ini dianggap bukan sebagai "undang-undang" oleh Mahkamah Agung seperti tercantum di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 tahun 1963 tertanggal 5 September 1963.
Dalam kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan Ibunya dan keluarga Ibunya. Sementara itu kompilasi Hukum Islam dalam hukum positif adalah sebuah Instruksi Presiden (Inpres), yaitu Inpres Nomor 1 Tahun 1991. Lantas muncul pertanyaan, apakah materi muatan sebuah Inpres dapat bertentangan dengan undang-undang. Menurut penelusuran penulis terhadap kompilasi Hukum Islam, tidak terdapat larangan yang tegas dan jelas bahwa anak luar kawin memiliki halangan menjadi ahli waris ayah biologisnya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 merupakan revolusi dalam lapangan hukum keluarga dan harta kekayaan. Seperti diketahui, putusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan binding (mengikat) bagi seluruh warga negara Indonesia. Konsekuensinya, seluruh peraturan perundang-undangan terkait di bawahnya, harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 43 ayat (1) Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dari Putusan MK itu selengkapnya dapat diambil beberapa poin mengenai tujuan pengubahan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yaitu :
1. Setiap kelahiran secara alamiah pastilah didahului kehamilan seorang perempuan akibat terjadinya pembuahan melalui hubungan seksual dengan lelaki atau melalui rekayasa teknologi.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memungkinkan ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap kelahiran sang anak sebagai bapaknya melalui mekanisme hukum.
3. Terkait perspektif UU Perkawinan yang memiliki karakter khas dalam pengertian formal merupakan hukum yang bersifat unifikasi sehingga terdapat norma hukum yang berlaku untuk seluruh warga negara.
4. Adanya perlakuan yang adil terhadap setiap anak yang dilahirkan meskipun perkawinan orang tuanya tidak (belum) ada kepastian.
5. Menegaskan adanya hubungan perdata setiap anak dengan ayah biologisnya dan keluarga ayahnya menurut hukum sebagaimana hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
6. Menjamin masa depan anak sebagaimana anak-anak pada umumnya.
7. Memberi ketegasan hukum bahwa setiap laki-laki harus bertanggung jawab atas tindakannya dan akibat yang timbul karena perbuatannya itu, dalam hal ini menyebabkan lahirnya anak, pihak laki laki tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab tersebut.
Rusdianto Matulatuwa adalah pendiri Kantor Hukum Matulatuwa & Makta, yang pernah menangani kasus Bom Bali I atas nama terdakwa Amrozy, Imam Samudera dan Ali Ghufron. Selain itu Ia juga pernah menjadi kuasa hukum Muchdi PR dalam perkara pembunuhan aktivis HAM Munir, artis Marcella Zalianty, serta mantan Dirjen Otonomi Daerah Oentarto Sindung Mawardi dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran.
Artikel ini ditulis dalam rangka permintaan panitia Diskusi Hukum Peran Notaris dan PPAT Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Status Anak Luar Kawin yang diselenggarakan pengurus INI/ IPPAT Tangerang Raya.
Artikel ini ditulis dalam rangka permintaan panitia Diskusi Hukum Peran Notaris dan PPAT Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Status Anak Luar Kawin yang diselenggarakan pengurus INI/ IPPAT Tangerang Raya.
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Kirim Komentar