24 November 2024 | 14:37:00
(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 tanggal 31 Oktober 2024)
Oleh : Dr. H. Ikhsan Lubis,SH, SpN, MKn
Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia dan Akademisi di bidang Hukum Kenotariatan
Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 menandai langkah baru dalam perlindungan hak-hak pekerja di Indonesia, menegaskan kembali prinsip ius cogens yang mengharuskan setiap kebijakan menghormati hak-hak dasar buruh di tengah tantangan globalisasi dan kebijakan ketenagakerjaan yang terus berkembang. Dengan mengakui urgensi perlindungan upah minimum, pengaturan alih daya, dan prosedur pemutusan hubungan kerja yang adil, putusan ini tidak hanya mencerminkan komitmen terhadap keadilan sosial, tetapi juga berfungsi sebagai landasan bagi reformasi hukum ketenagakerjaan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Rekomendasi dari penelitian ini menekankan perlunya dialog konstruktif antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk mencapai regulasi yang adil, serta memastikan bahwa kebijakan ketenagakerjaan mendukung kesejahteraan pekerja lokal, selaras dengan prinsip social contract dan labor rights. Melalui langkah-langkah yang tepat dan kolaborasi semua pihak, diharapkan Indonesia dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi dan kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan.
Dinamika Perjuangan Buruh dan Respons Mahkamah Konstitusi: Implikasi Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 terhadap Ketenagakerjaan di Indonesia
Latar Belakang
Perjuangan buruh untuk mendapatkan perlindungan hak-hak dasar menghadapi tantangan yang beragam, terutama dalam konteks kebijakan ketenagakerjaan yang terus berubah. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 pada 31 Oktober 2024, yang menguji Undang-Undang Cipta Kerja, menjadi titik fokus bagi buruh dan pengambil kebijakan dalam menegaskan hak-hak pekerja. Perlindungan hak pekerja di Indonesia bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga merupakan bagian integral dari pembangunan sosial yang berkelanjutan. Kesejahteraan buruh dan investasi harus berjalan seiring, sehingga memunculkan tantangan bagi pembuat kebijakan untuk menciptakan regulasi yang inklusif dan adil. Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan kembali prinsip ius cogens, yang mewajibkan setiap kebijakan untuk menghormati hak-hak dasar pekerja.
Tulisan ini akan menganalisis permasalahan yang relevan dengan keputusan MK : Pertama, bagaimana penegasan kembali hak-hak pekerja di tengah kebijakan yang mendukung investasi? Kedua, sejauh mana keseimbangan antara kepentingan pekerja dan investasi dapat dicapai? Ketiga, apa tantangan yang muncul dari penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dalam konteks perlindungan hak-hak pekerja lokal? Dengan menggunakan analisis hukum dan sosio-ekonomi, artikel ini mengadopsi pendekatan normatif dan empiris. Melalui pendekatan ini, diharapkan dapat diungkapkan implikasi hukum dan sosial dari putusan MK terhadap kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.
Keseimbangan Kepentingan Pekerja dan Investasi
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 menyoroti perlunya keseimbangan antara kepentingan pekerja dan investasi dalam regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Uji materi yang diajukan oleh Partai Buruh dan federasi serikat pekerja mencerminkan kekhawatiran mendalam terhadap dampak negatif dari kebijakan ekonomi liberal terhadap hak-hak pekerja. Dalam kerangka aksiososiologis, keputusan ini menegaskan bahwa norma hukum tidak hanya berfungsi untuk mengatur pasar, tetapi juga harus mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial yang esensial dalam menciptakan sistem ketenagakerjaan yang berkelanjutan dan adil. Dari perspektif jurisprudence, keputusan MK menunjukkan penguatan perlindungan hak-hak pekerja. Dalam amar putusannya, MK mengabulkan sebagian permohonan yang menyoroti norma-norma dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja. Hal ini sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Putusan ini menciptakan harapan baru bagi pekerja untuk memperoleh perlindungan hukum yang lebih kuat dalam menghadapi regulasi yang dapat merugikan.
Namun, MK juga menolak beberapa permohonan yang dianggap prematur terkait norma pemutusan hubungan kerja (PHK). Keputusan ini menunjukkan pentingnya legal certainty dalam sistem hukum, di mana kepastian hukum menjadi syarat mutlak sebelum suatu norma dapat diuji secara konstitusional. Penolakan ini menciptakan ruang bagi pengembangan interpretasi hukum yang lebih mendalam, sehingga ketidakpastian yang dialami pekerja dalam perjanjian kerja dapat diminimalkan. Norma-norma dalam UU Cipta Kerja, seperti yang berkaitan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) dan sistem alih daya (outsourcing), menciptakan tantangan dalam mencapai keseimbangan antara kepentingan bisnis dan perlindungan hak-hak pekerja. Melalui putusan ini, MK berusaha menjembatani kesenjangan tersebut, menegaskan bahwa setiap hubungan kerja harus berlandaskan pada prinsip keadilan dan kesejahteraan. Ini merupakan langkah signifikan dalam memastikan bahwa perlindungan pekerja tidak hanya ada di atas kertas, tetapi juga dapat diterapkan secara praktis.
Penerapan social contract theory dalam konteks keputusan MK ini relevan untuk memahami interaksi antara negara, pengusaha, dan pekerja. Teori ini menyiratkan adanya kesepakatan sosial yang harus dipatuhi oleh semua pihak untuk menciptakan keadilan sosial. Dengan mengakui hak-hak pekerja dalam kerangka regulasi yang lebih ketat, MK berkontribusi pada penciptaan kondisi yang mendukung pertumbuhan ekonomi inklusif, di mana semua elemen masyarakat merasakan manfaat dari kebijakan yang ada. Meskipun MK telah mengabulkan sebagian permohonan, tantangan dalam implementasi norma baru tetap menjadi perhatian utama. Penegakan hukum yang efektif dan komitmen dari pemerintah serta pemangku kepentingan lain sangat penting untuk memastikan bahwa perubahan hukum yang dihasilkan tidak hanya bersifat normatif. Pertanyaan tentang accountability pemerintah dalam menerapkan keputusan MK juga perlu diperhatikan, karena tanggung jawab ini tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga etis dan moral dalam pelayanan publik.
Dengan demikian, keputusan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 bukan hanya pengakuan terhadap hak-hak pekerja, tetapi juga merupakan langkah awal menuju reformasi sistem ketenagakerjaan yang lebih adil. Dalam menghadapi tantangan global, Indonesia harus berupaya menyelaraskan regulasi ketenagakerjaan dengan praktik terbaik internasional, sambil tetap menghormati prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Kesimpulannya, putusan ini menegaskan bahwa hukum adalah instrumen yang dapat mencapai keadilan, mendorong perbaikan berkelanjutan dalam pengaturan ketenagakerjaan demi kesejahteraan seluruh masyarakat.
Perlindungan Pekerja di Era Globalisasi
Putusan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 menegaskan perlunya perlindungan hak-hak pekerja di tengah meningkatnya penggunaan tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia. Keputusan ini menetapkan bahwa TKA hanya boleh dipekerjakan dalam posisi tertentu dan dengan syarat kompetensi yang jelas, mencerminkan prinsip ius laboris, yang menegaskan hak pekerja untuk mendapatkan perlindungan dan kesempatan yang adil di pasar tenaga kerja. MK berperan sebagai penegak keadilan sosial yang mendukung posisi pekerja lokal dalam menghadapi persaingan global. Dari perspektif aksiologis, keputusan MK berfungsi sebagai pernyataan komitmen terhadap keadilan sosial. Dengan menyatakan bahwa TKA tidak boleh menggantikan posisi tenaga kerja Indonesia (TKI) tanpa alasan yang sah, MK melindungi hak asasi manusia dalam konteks ketenagakerjaan. Hal ini menjadi penting mengingat proliferasi TKA di berbagai sektor yang sering kali mengabaikan hak-hak pekerja lokal. Reaksi positif dari buruh yang berkumpul di Jakarta menandakan bahwa keputusan ini dianggap sebagai kemenangan bagi mereka, memperlihatkan dukungan terhadap pengakuan hak-hak dalam penggunaan tenaga kerja.
Uji materi yang diajukan meliputi 71 poin petitum, yang dibagi dalam tujuh klaster, termasuk isu-isu vital seperti upah, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), dan pemutusan hubungan kerja (PHK). MK menunjukkan pemahaman mendalam terhadap isu-isu ini, mencerminkan pentingnya prinsip social justice dalam hukum ketenagakerjaan, di mana hak-hak pekerja menjadi fokus utama. Keputusan ini tidak hanya memperlihatkan responsifitas MK terhadap isu-isu kompleks di pasar tenaga kerja, tetapi juga menegaskan perannya sebagai pengawal konstitusi yang berkomitmen terhadap keadilan. Salah satu poin penting yang diangkat oleh MK adalah potensi multitafsir dalam Pasal 42 Ayat (4) dan Pasal 81 angka 4 UU Nomor 6 Tahun 2023. Tanpa penjelasan yang jelas, ketentuan ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan hak TKI. MK menegaskan pentingnya norma tersebut dimaknai dalam kerangka pengutamaan TKI, untuk mencegah konflik antara norma yang ada. Penegasan ini juga mencerminkan prinsip legal certainty, di mana setiap tindakan dalam dunia ketenagakerjaan harus memenuhi standar yang jelas dan ditetapkan.
Dalam hal ini, MK juga menegaskan bahwa penggunaan TKA harus berdasarkan kebutuhan yang jelas. Ini sejalan dengan tanggung jawab hukum yang menuntut agar setiap keputusan terkait ketenagakerjaan tidak merugikan kesempatan kerja bagi TKI. Penekanan ini adalah langkah penting dalam memastikan bahwa kesejahteraan pekerja lokal tetap menjadi prioritas dalam kebijakan ketenagakerjaan. Perjuangan serikat pekerja dalam mengajukan uji materi ini mencerminkan dinamika hubungan industrial yang semakin kompleks. MK, dalam mempertimbangkan argumen yang diajukan, telah menunjukkan perannya sebagai mediator yang memperkuat posisi serikat pekerja dalam dialog sosial. Dengan memberi ruang bagi suara buruh, MK juga mendukung prinsip tripartite cooperation, yang menuntut kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan berkelanjutan. Keputusan MK ini diharapkan dapat mendorong pembentukan regulasi yang lebih komprehensif dan transparan, menciptakan sinergi antara semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan tenaga kerja.
Implikasi jangka panjang dari keputusan ini terhadap sistem ketenagakerjaan di Indonesia adalah pentingnya pengutamaan TKI dan kejelasan dalam pemanfaatan TKA. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan hak-hak pekerja dan membangun kepercayaan di antara pekerja dan pemberi kerja, serta menciptakan stabilitas di pasar tenaga kerja. Putusan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 tidak hanya menjadi kemenangan bagi serikat pekerja, tetapi juga langkah maju dalam reformasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia.
Dengan menegaskan komitmen terhadap hak asasi manusia dan perlindungan sosial, keputusan ini membuka peluang bagi perbaikan kebijakan yang lebih inklusif di masa depan. Dalam konteks globalisasi yang terus berkembang, perlindungan hak-hak pekerja lokal menjadi semakin penting, dan MK telah menunjukkan bahwa lembaga hukum dapat berperan aktif dalam hal ini. Hukum dapat menjadi instrumen yang mendorong keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat, menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kesejahteraan Pekerja dalam Dinamika Ketenagakerjaan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 40/PUU-XXI/2023 berpotensi menjadi titik balik signifikan dalam regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Aksi buruh yang melibatkan ribuan orang mencerminkan aspirasi yang mendalam untuk keadilan dan perlindungan hak-hak mereka. Dalam konteks ini, aspek aksiologis menjadi sangat penting untuk dipahami, di mana hukum seharusnya berfungsi sebagai instrumen pelindung kepentingan pekerja di tengah liberalisasi ekonomi yang mengancam kesejahteraan mereka. Pengajuan judicial review oleh Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) menantang klaster ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja, menuntut MK untuk menyeimbangkan antara kepentingan investasi dan perlindungan hak-hak pekerja. Prinsip proportionality dalam hukum menjadi relevan di sini, di mana setiap kebijakan harus mempertimbangkan dampak terhadap semua pihak, termasuk pekerja yang rentan. MK menguji formil dan materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, memutuskan untuk membatalkan klaster ketenagakerjaan, yang sebelumnya ditolak oleh serikat pekerja dan aktivis.
Dalam putusannya, MK menerapkan metode interpretasi historis untuk memahami konteks terbentuknya undang-undang, menunjukkan komitmen dalam menjamin keadilan dan legitimasi hukum. UU Cipta Kerja dianggap menggerus nilai-nilai yang terkandung dalam UU Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, dan kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menciptakan ketidakpastian bagi pekerja. MK menekankan pentingnya legal certainty sebagai fondasi sistem hukum untuk melindungi hak-hak pekerja.
Salah satu kritik utama adalah hilangnya mekanisme perlindungan bagi pekerja yang terancam PHK. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan memberikan perlindungan yang lebih kuat. MK diharapkan mampu menciptakan regulasi yang tidak hanya mendukung investasi tetapi juga melindungi pekerja lokal dari perlakuan diskriminatif. Data menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja tidak sebanding dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja, menciptakan kesenjangan yang perlu perhatian serius.
Keputusan MK untuk membatalkan klaster ketenagakerjaan merupakan langkah positif, namun tantangan terbesar terletak pada implementasi. Pemerintah harus memastikan bahwa perlindungan hak-hak pekerja tidak hanya menjadi jargon, tetapi diimplementasikan secara nyata. Pengawasan dari masyarakat dan serikat pekerja menjadi krusial dalam menjamin efektivitas hukum yang telah ditetapkan. Putusan MK mengenai klaster ketenagakerjaan tidak hanya merupakan kemenangan bagi para pekerja, tetapi juga langkah strategis dalam reformasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam konteks aksiologis, keputusan ini mencerminkan komitmen untuk memelihara nilai-nilai keadilan sosial dan perlindungan hak asasi manusia, yang merupakan pilar utama dalam pembangunan masyarakat yang berkelanjutan dan inklusif. Harapan akan keadilan dan kesejahteraan bagi pekerja kini tampak lebih realistis dalam praktik hukum yang lebih adil dan responsif.
Harapan Baru dari Keputusan MK
Putusan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 memberikan harapan baru bagi perlindungan hak-hak pekerja. Dengan mengabulkan sebagian permohonan dari Partai Buruh dan federasi serikat pekerja, MK menunjukkan komitmennya untuk menjaga keadilan sosial. Putusan ini menyoroti pentingnya harmonisasi norma antara UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja. Keputusan MK untuk merevisi 21 pasal dari UU Cipta Kerja menunjukkan perlunya legislasi baru yang lebih memperhatikan perlindungan hak pekerja. MK menekankan pentingnya pembentukan undang-undang ketenagakerjaan yang terpisah dari UU Cipta Kerja, menciptakan ruang bagi regulasi yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Proses legislasi harus melibatkan partisipasi aktif dari serikat pekerja untuk memastikan suara mereka didengar.
Keseimbangan antara Perlindungan dan Investasi
MK juga menyadari pentingnya menciptakan lingkungan hukum yang kondusif bagi investasi tanpa mengabaikan hak-hak pekerja. Dengan mengatur ulang ketentuan dalam UU Cipta Kerja, diharapkan tercipta keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan perlindungan sosial. Putusan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 merupakan langkah awal yang menjanjikan dalam reformasi hukum ketenagakerjaan. Dengan mempertimbangkan aspek aksiologis, sosial, dan filosofis, kita diingatkan bahwa hukum harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat dengan cara yang adil. Harapan untuk masa depan ketenagakerjaan yang lebih baik di Indonesia semakin terbuka, asalkan keputusan ini diikuti dengan tindakan nyata dari semua pihak.
Penegasan Kembali Hak Pekerja
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 menandai tonggak penting dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Dengan mengabulkan sebagian permohonan dari Partai Buruh dan serikat pekerja, MK menegaskan perlunya perlindungan hak-hak pekerja di tengah kerangka Undang-Undang Cipta Kerja yang kontroversial. Keputusan ini tidak hanya memiliki dimensi hukum, tetapi juga implikasi moral dan sosial yang mendalam bagi masyarakat.
Poin-Poin Penting dari Keputusan MK
MK menyatakan bahwa frasa "Pemerintah Pusat" dalam Pasal 42 ayat (1) UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945. Keputusan ini mengharuskan pengambilan keputusan ketenagakerjaan dilakukan oleh "menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan," yang dalam hal ini adalah Menteri Tenaga Kerja. Ini mendorong adanya akuntabilitas yang lebih jelas dalam pengelolaan ketenagakerjaan.
MK menekankan bahwa penggunaan tenaga kerja asing harus dilakukan dengan syarat tertentu yang mengutamakan pekerja lokal. Prinsip local labor preference diterapkan untuk melindungi tenaga kerja domestik dari persaingan yang tidak adil.
Dalam Pasal 56 ayat (3), MK menetapkan bahwa perjanjian kerja tertentu tidak boleh melebihi lima tahun, untuk mencegah eksploitasi melalui perjanjian yang berkepanjangan. Hal ini menekankan pentingnya kepastian dalam kontrak kerja.
MK mengharuskan semua perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis dan dalam Bahasa Indonesia, mencerminkan prinsip informed consent, sehingga semua pihak memahami isi dan konsekuensi perjanjian.
MK menegaskan bahwa pekerja berhak atas istirahat mingguan yang memadai dan penghidupan yang layak. Ini mencerminkan pemahaman bahwa kesejahteraan pekerja tidak hanya diukur dari aspek finansial tetapi juga dari keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Kebijakan pengupahan harus melibatkan dewan pengupahan daerah, mencerminkan prinsip participatory governance, di mana semua pemangku kepentingan terlibat dalam pengambilan keputusan yang memengaruhi hidup mereka.
MK menegaskan bahwa PHK hanya dapat dilakukan setelah penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, memberikan perlindungan tambahan bagi pekerja agar proses PHK tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
Implikasi dari Keputusan MK
Keputusan MK mencerminkan bahwa perlindungan hak pekerja adalah isu yang tidak hanya hukum, tetapi juga moral dan sosial. Dengan menekankan hak-hak ini, MK memberikan panduan moral bagi pembentuk undang-undang untuk menciptakan regulasi yang lebih adil dan berkeadilan. Putusan MK dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 berfungsi sebagai titik balik dalam perjuangan hak pekerja di Indonesia. Ini tidak hanya memperbaiki sistem hukum ketenagakerjaan tetapi juga menciptakan harapan baru bagi keadilan sosial. Keputusan ini menjadi pengingat bahwa hukum dan keadilan sosial harus berjalan beriringan, untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik dan sejahtera. Harapan untuk keadilan sosial dan perlindungan hak pekerja kini semakin realistis, dengan penegakan hukum yang diharapkan dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.
Reformasi Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menandai langkah penting dalam reformasi hukum ketenagakerjaan di Indonesia. Dengan mengamanatkan pembentukan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja, MK menegaskan perlunya harmonisasi dan sinkronisasi regulasi yang mengatur hubungan kerja. Ini menjadi sangat penting untuk memahami implikasi keputusan tersebut terhadap kesejahteraan pekerja serta stabilitas hukum yang lebih luas. MK memberikan waktu dua tahun kepada pembentuk undang-undang untuk menyusun UU Ketenagakerjaan yang baru. Ini mencerminkan urgensi untuk menyelesaikan tumpang tindih norma antara UU Ketenagakerjaan yang lama dan UU Cipta Kerja. Ketiadaan regulasi yang jelas dapat menciptakan ketidakpastian hukum, yang mengancam hak-hak pekerja dan pemberi kerja. Konsep legal certainty menjadi sangat relevan dalam konteks ini, di mana situasi yang ada berpotensi memicu konflik kepentingan.
MK menekankan pentingnya partisipasi aktif dari serikat pekerja dalam proses penyusunan UU Ketenagakerjaan yang baru. Ini sejalan dengan prinsip participatory governance, yang mengutamakan keterlibatan semua pemangku kepentingan dalam proses legislasi. Keterlibatan serikat pekerja diharapkan membuat substansi UU lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi pekerja, serta menciptakan suasana kerja yang lebih harmonis.
Integrasi dan Kepastian Hukum
MK menekankan bahwa substansi UU Ketenagakerjaan yang baru harus mengakomodasi materi dari UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Cipta Kerja, serta mengintegrasikan semangat dari berbagai putusan MK sebelumnya. Ini berpotensi menciptakan kepastian hukum yang lebih baik bagi semua pihak dalam hubungan kerja. Namun, kondisi ketenagakerjaan saat ini masih bersifat fragmentaris, di mana beberapa aspek telah diubah melalui UU Cipta Kerja, sementara yang lain masih mengacu pada UU yang lama. Ketidakharmonisan ini bisa mengancam perlindungan hak-hak pekerja. MK memperingatkan bahwa jika permasalahan tumpang tindih norma tidak segera ditangani, tata kelola hukum ketenagakerjaan akan terjebak dalam lingkaran ketidakpastian dan ketidakadilan. Prinsip rule of law sebagai dasar sistem hukum akan terganggu, sehingga perlindungan hak-hak pekerja dan kepastian hukum bagi pemberi kerja akan semakin rapuh. Oleh karena itu, penting bagi pembentuk undang-undang untuk menciptakan regulasi yang sistematis dan terintegrasi.
Fokus pada Isu-Isu Ketenagakerjaan
Keputusan MK untuk memisahkan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja mencerminkan keinginan untuk menciptakan regulasi yang lebih fokus dan komprehensif. UU Ketenagakerjaan yang baru diharapkan lebih mudah dipahami dan diterapkan, serta meminimalkan ruang untuk interpretasi yang merugikan salah satu pihak. Isu-isu penting seperti penggunaan tenaga kerja asing, perjanjian kerja waktu tertentu, dan pemutusan hubungan kerja menjadi bagian integral dalam diskusi mengenai ketenagakerjaan yang berkeadilan.
MK menekankan tanggung jawab pembentuk undang-undang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sekaligus hak asasi manusia dalam konteks ketenagakerjaan. UU Ketenagakerjaan yang baru harus mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial dan perlindungan hak asasi pekerja, menciptakan keseimbangan antara kepentingan pengusaha dan hak-hak pekerja, yang pada akhirnya berkontribusi pada stabilitas sosial. Putusan MK mengenai pengujian UU Cipta Kerja merupakan langkah penting menuju reformasi hukum ketenagakerjaan yang lebih komprehensif dan berkeadilan. Dalam jangka panjang, diharapkan regulasi baru ini tidak hanya menciptakan kepastian hukum, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan pekerja dan menjamin perlindungan hak-hak mereka. Dengan mencerminkan nilai-nilai keadilan sosial, UU Ketenagakerjaan yang baru diharapkan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi hak-hak pekerja di Indonesia.
Penegasan Hak Pekerja dalam Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 menegaskan tanggung jawab pemberi kerja untuk mengutamakan penggunaan tenaga kerja Indonesia (TKI) sebelum mempekerjakan tenaga kerja asing (TKA). Keputusan ini tidak hanya berfungsi sebagai pedoman regulasi, tetapi juga mengedepankan aspek aksio-logis dalam melindungi hak dan kesempatan kerja bagi warga negara, serta menunjukkan komitmen terhadap pemenuhan hak asasi manusia dalam konteks ketenagakerjaan.
Prioritas untuk Tenaga Kerja Lokal
MK menekankan bahwa penggunaan TKA harus memperhatikan kondisi pasar kerja domestik, dengan prinsip socio-economic balance yang memprioritaskan sumber daya manusia lokal. Hukum, dalam konteks ini, berperan sebagai sarana untuk menciptakan keadilan sosial, sehingga pekerja lokal mendapatkan kesempatan yang adil. TKA hanya boleh dipekerjakan untuk jabatan yang tidak dapat dipenuhi oleh TKI, terutama untuk keahlian khusus yang tidak tersedia di dalam negeri.
Dalam putusannya, MK menyoroti pentingnya kejelasan dalam kriteria penggunaan TKA yang diatur dalam Pasal 42 ayat (4) dan Pasal 81 angka 4 UU Nomor 6 Tahun 2023. Ketidakjelasan ini berpotensi menciptakan legal uncertainty, yang dapat mengancam hak pekerja dan menimbulkan ketidakadilan dalam praktik ketenagakerjaan. Oleh karena itu, MK menekankan perlunya kriteria yang jelas dan terukur dalam mempekerjakan TKA.
MK mendorong pengutamaan TKI sebagai tenaga pendamping bagi TKA, sehingga transfer teknologi dan keahlian dapat dilakukan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip knowledge transfer yang mendukung pengembangan kompetensi tenaga kerja lokal. Dengan demikian, diharapkan TKI dapat menggantikan posisi TKA seiring dengan peningkatan kemampuan mereka. MK menegaskan bahwa kesempatan bagi TKA bersifat sementara dan berdasarkan kebutuhan yang jelas. Konsep temporal employment ini memungkinkan TKA bekerja untuk jabatan tertentu dalam waktu tertentu, sehingga keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan industri dan perlindungan hak pekerja dapat tercapai.
Implementasi putusan MK menjadi tantangan bagi pembentuk undang-undang, pengusaha, dan sektor industri untuk menerapkan kebijakan yang sesuai. Tanggung jawab ini mencakup pemenuhan norma yang telah ditetapkan serta pengawasan untuk memastikan prinsip-prinsip yang diusung MK dapat terlaksana dengan baik. Peran serikat pekerja dan masyarakat sipil juga sangat penting dalam mengawasi dan mendorong implementasi regulasi yang adil. Putusan MK ini merupakan langkah positif dalam penguatan posisi TKI di pasar tenaga kerja. Diharapkan regulasi yang lebih jelas dan terstruktur akan memberikan perlindungan bagi pekerja, mendorong perkembangan kompetensi lokal, dan menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil. Dengan menegaskan prinsip-prinsip keadilan dan prioritas terhadap tenaga kerja lokal, diharapkan regulasi yang dihasilkan akan menciptakan keseimbangan yang menguntungkan semua pihak. Keputusan ini juga meneguhkan komitmen negara dalam melindungi hak asasi manusia dan memajukan kesejahteraan sosial.
Implikasi bagi Ketenagakerjaan di Indonesia
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Oktober 2024 mengenai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja, khususnya dalam kluster tenaga kerja asing (TKA), mencerminkan langkah signifikan dalam perlindungan hak pekerja lokal. Dengan membatasi penggunaan TKA untuk jabatan tertentu yang memerlukan kompetensi khusus, keputusan ini tidak hanya mendukung tenaga kerja Indonesia (TKI) tetapi juga mengedepankan prinsip keadilan sosial dan hak asasi manusia.
Keputusan MK memberikan harapan bagi buruh yang merasa terdampak negatif oleh kebijakan yang dianggap pro-bisnis. Dalam konteks ini, prinsip ius cogens—hak-hak pekerja yang harus diutamakan dalam peraturan—menjadi sangat relevan. Regulasi ketenagakerjaan harus mengadopsi pendekatan yang lebih manusiawi, memastikan kondisi kerja yang layak dan mengatasi kesenjangan antara peraturan dan praktik di lapangan.
Kritik terhadap penghitungan upah minimum yang tidak transparan menekankan pentingnya partisipasi publik dan pemangku kepentingan, terutama buruh, dalam proses pembuatan kebijakan. Keterlibatan ini diperlukan agar kebijakan yang dihasilkan mencerminkan kebutuhan masyarakat. Selain itu, regulasi yang menciptakan sistem jaminan sosial yang kuat dan berkelanjutan sangat dibutuhkan untuk melindungi hak pekerja.
Tanggung Jawab Pengusaha
Keputusan MK juga menuntut pengusaha untuk mempertimbangkan keberlanjutan usaha dan kesejahteraan karyawan, sesuai dengan prinsip corporate social responsibility. Dengan pembatasan penggunaan TKA, diharapkan ada dorongan untuk mengembangkan tenaga kerja lokal yang kompeten, menciptakan hubungan yang saling menguntungkan antara pekerja dan pengusaha. Perlunya dialog konstruktif antara pemerintah, serikat buruh, dan pengusaha menjadi sangat mendesak. Tanpa komunikasi yang terbuka, kebijakan yang dihasilkan mungkin tidak efektif dan dapat menimbulkan ketegangan di lapangan. Penerapan prinsip stakeholder theory akan memastikan bahwa semua pihak terlibat dalam pengambilan keputusan terkait ketenagakerjaan.
Evaluasi dan Implementasi
Evaluasi terhadap keputusan MK tidak hanya berkaitan dengan aspek hukum, tetapi juga melibatkan dimensi sosial dan ekonomi yang kompleks. Tantangan ke depan adalah bagaimana implementasi keputusan ini dapat dilakukan secara efektif. Komitmen dari semua pihak—pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh yang sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang sehat dan produktif. Keputusan MK ini membuka jalan bagi kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adil dan berkelanjutan. Melalui penegasan prinsip ius cogens, keputusan ini menegaskan pentingnya hak-hak dasar pekerja dalam setiap kebijakan ketenagakerjaan. Reformasi hukum yang fokus pada perlindungan hak pekerja tidak hanya bertujuan untuk memenuhi kepentingan buruh, tetapi juga menciptakan iklim investasi yang sehat. Keseimbangan antara kepentingan pekerja dan pengusaha harus dicapai melalui regulasi yang inklusif.
Dialog konstruktif dan kolaborasi antar semua pemangku kepentingan akan menjadi kunci dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan langkah-langkah yang tepat, Indonesia dapat mewujudkan kesejahteraan pekerja yang sejalan dengan pertumbuhan ekonomi, serta menjaga keadilan sosial di tengah perubahan yang terus berlangsung.
HAK PEKERJA HARUS DILINDUNGI DALAM SETIAP KEBIJAKAN
Dinamika perjuangan buruh di Indonesia mencerminkan kompleksitas hubungan antara hak-hak pekerja dan kebijakan ketenagakerjaan, terutama dalam konteks globalisasi. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023 menegaskan perlunya perlindungan hak-hak pekerja dengan mengedepankan prinsip ius cogens, yang menekankan bahwa hak-hak dasar pekerja harus dilindungi dalam setiap kebijakan. Melalui pendekatan normatif dan empiris, artikel ini menunjukkan bahwa keputusan tersebut tidak hanya memberikan landasan hukum yang kuat, tetapi juga membentuk paradigma baru dalam hubungan industrial yang lebih adil, seimbang, dan inklusif.
Implikasi hukum dan sosial dari putusan MK menunjukkan kebutuhan mendesak untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan pekerja dan investasi. Hal ini sejalan dengan prinsip social contract yang mengharuskan negara dan pengusaha untuk memastikan kesejahteraan pekerja menjadi bagian integral dari kebijakan ekonomi. Penegasan hak pekerja dalam konteks penggunaan tenaga kerja asing (TKA) menjadi isu krusial yang perlu perhatian agar tidak terjadi eksploitasi terhadap tenaga kerja lokal. Penelitian ini memberikan pemahaman baru mengenai keterkaitan antara hukum, sosial, dan ekonomi dalam era ketenagakerjaan yang semakin dinamis.
Rekomendasi
Pentingnya menciptakan forum dialog antara pemerintah, pengusaha, dan serikat pekerja untuk membahas regulasi ketenagakerjaan yang inklusif dan berkelanjutan. Melalui komunikasi yang terbuka, semua pihak dapat menyampaikan kebutuhan dan harapan mereka.
Mendorong kolaborasi yang berlandaskan prinsip stakeholder theory, di mana semua pemangku kepentingan terlibat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Ini akan memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan lebih responsif terhadap realitas di lapangan.
Reformasi hukum yang berfokus pada perlindungan hak-hak pekerja perlu diprioritaskan. Kebijakan harus mengedepankan kesejahteraan pekerja sebagai bagian integral dari pertumbuhan ekonomi dan investasi.
Membentuk mekanisme evaluasi dan pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa regulasi yang diterapkan tidak hanya ada di atas kertas, tetapi juga diimplementasikan dengan baik di lapangan. Ini termasuk penegakan hukum terhadap pelanggaran hak pekerja.
Mendorong program pendidikan dan pelatihan bagi pekerja untuk meningkatkan keterampilan dan daya saing mereka di pasar kerja. Ini akan membantu pekerja lokal untuk lebih siap menghadapi persaingan dengan tenaga kerja asing.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat menciptakan ekosistem ketenagakerjaan yang adil dan produktif, yang mendukung kesejahteraan pekerja sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Dr. H. IKHSANLUBIS, S.H., SpN., M.Kn, Lahir di Medan, 02 Juli 1967 dan penulis mengenyam pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh tahun 1991, Lulus Program Spesialis Notariat di Universitas Sumatera Utara tahun 2001, Medan, S-2 Program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2021 dan Lulus Program Pendidikan Doktor Ilmu Hukumdi Universitas Sumatera Utara, Medan tahun 2024. Pada tahun 1991-2001, penulis bekerja sebagai Pengacara/Penasehat Hukum di Medan (Wilayah Kerja Provinsi Sumatera Utara) dan sejak 2002 s/d sekarang sebagai Notaris/PPAT Kota Medan. Selain itu, penulis juga sebagai staf pengajar di bidang hukum kenotaritan pada Prodi MKN Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Prodi MKN Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Prodi MKN Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia maupun Fakultas Hukum Universitas Medan Area dan juga sering diminta untuk memberikan keterangan ahli bidang Kenotaritan pada Pengadilan Tata Usaha Negara Medan (Kenotariatan), pada Pengadilan Negeri Medan (Tipikor), pada Pengadilan Negeri Balige (Pertanahan), pada Pengadilan Negeri Kabanjahe (Pertanahan), pada Pengadilan Negeri Tebing Tinggi (Akta RUPS PT) serta aktif di berbagai organisasi diantaranya :
Anggota Mahkamah Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia, di Jakarta periode 2022 – 2025.
Ketua Bidang Perundang-undangan Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI) Periode 2023-2026.
Ketua Pengurus Wilayah Sumatera Utara Ikatan Notaris Indonesia (Pengwil Sumut INI) Periode 2019-2022, dan Periode 2023-2026.
Wakil Ketua Bidang Pengayoman Perlindungan Hukum Pengurus Wilayah Sumatera Utara Ikatan Notaris Indonesia (Pengwil Sumut INI) Periode 2016-2019.
Kordinator Bidang Magang Pengurus Pusat lkatan Notaris Indonesia (PP-INI) di Jakarta Periode Tahun 2016-2019.
Wakil Ketua Bidang Pengayoman dan Perlindungan Hukum Pengurus Pusat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PP-IPPAT) di Jakarta Periode Tahun2015-2018.
Sekretaris Pengurus Wilayah Sumatera lkatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Pengwil IPPAT Sumut) Periode Tahun 2009-2014.
Wakil Ketua Pengurus Daerah Kota Medan Ikatan Notaris Indonesia (Pengda Kota Medan INI) Periode Tahun 2007-2010.
...