Yunirman Rijan


Usulan Perubahan UUJN dari PP INI Hang Tuah





Dr. Yunirman Rijan, S.H., M.Kn., M.H.
Ketua Bidang Peraturan dan Perundang-undangan PP INI






Dalam rangka pembahasan revisi UUJN PP INI (Hang Tuah) juga mengajukan usulan. Menurut Ketua Bidang Peraturan dan Perundang-undanagn PP INI di bawah Sri Rachma Chandrawati, Yunirman Rijan sebetulnya cukup banyak hal-hal yang diajukan PP INI Hang Tuah untuk usulan perbaikan UUJN, namun akhirnya banyak hal yang belum terakomodir. Di antaranya adalah soal matschaap (persekutuan) notaris yang diperbolehkan tapi dalam prakteknya tidak ada satu pun matschap kantor notaris berdiri di Indonesia.


Menurut Yunirman, perubahan UU Jabatan Notaris yang inisiatifnya dilakukan DPR RI tidaklah signifikan karena hanya bersifat mengulang atau tidak ada hal baru. Secara esensi, perubahan UU Jabatan Notaris yang disetujui tahun 2013 ini tidak menyentuh permasalahan notaris yang riil, yang berkenaan dengan pemerataan, persaingan antarnotaris dalam bekerja. Pendek kata, perubahan yang ada adalah mengenai hal yang tidak terlalu perlu, seperti Dewan Kehormatan yang sebetulnya transformasi dari Majelis Pengawas. Jadi dalam hal ini hanya menambah lembaga saja, yang sebetulnya anggotanya dari situ juga.
Sehingga ia yakin, perubahan ini tidak akan terlalu membawa hasil yang bagus buat perubahan nasib notaris. Seperti pengawas notaris. Kami sebetulnya ingin agar pengawas notaris itu dari luar lingkungan notaris. Dalam hal ini adalah pengadilan. Sebab jika yang mengawasi notaris adalah notaris sendiri, ya percuma. Nanti akan saling melindungi. Ini manusiawi. Sama seperti di dunia kedokteran yang selalu berusaha melindungi anggota jika diduga melakukan malpraktek, walau sebetulnya malprakteknya sungguh terjadi. Dalam bentuk lain, mereka melindungi temannya dengan cara demo, mogok kerja. Ini membuktikan bahwa kita ini unfair (tidak jujur-red).
Untuk itu kami di PP INI mengusulkan agar pasal mengenai maatschap (persekutuan perdata-red) ini dihapuskan saja karena sejak diundangkannya UUJN tahun 2004, pasal ini tidak ada gunanya terbukti dengan tidak adanya maatschap yang berdiri barang satu pun. Mengapa masalah maatschap ini menjadi tidak ada gunanya dan bahkan bisa menjadi masalah. Masalahnya, antara lain, disebabkan karena pada dasarnya pekerjaan notaris bersifat individual. Sehingga bila beberapa notaris bergabung ke dalam maatschap maka akan timbul masalah dalam hal penjagaan kerahasiaan klien, dan juga masalah tanggungjawab para notaris anggota maatschap.
Dalam masalah menjaga kerahasiaan klien kemungkinan akan terjadi masalah jika kerahasiaan klien diketahui lebih dari satu orang notaris. Jika seorang klien ditangani maatschap maka identitas klien akan diketahui banyak orang atau lebih dari satu notaris.
Sedangkan dalam soal tanggungjawab para notaris anggota matschaap juga menyimpan persoalan, sebab bila ada masalah klien maka notaris bisa menyangkal ikut bertanggungjawab terhadap masalah klien yang ditangani notaris lain di dalam matschaap. Namun di dalam matschaap bila ada masalah maka tanggungjawab akan menjadi tanggungjawab bersama sehingga akan menjadi problem jika ada notaris anggota maatschap yang tidak mau ikut bertanggungjawab. Mengapa masalah yang timbul akan menjadi tanggungjawab bersama, adalah karena siapa pun notaris anggota maatschap bisa menandatangani akta.
Maatschap juga menyimpan pertanyaan, notaris itu kan pejabat umum kepanjangan tangan dari pemerintah, tapi kok, membuat persetukuan perdata? Jadinya di sini terjadi campur-aduk antara pejabat publik/ pejabat umum dan persekutuan perdata.
Maatschap ini juga akan berpotensi menimbulkan semacam “kartel”. Contohnya begini, ada seorang notaris sudah berumur 60 tahun yang tentunya berpikir bagaimana menghadapi pensiun. Kemudian notaris tersebut menawari salah seorang anak buahnya atau keponakannya untuk menjadi notaris, dan untuk ini, pendidikannya dibiayai notaris tersebut. Namun si notaris membuat kesepakatan dengan anak buahnya itu dengan membentuk matschaap bila si anak buah akhirnya diangkat menjadi notaris, dengan catatan bahwa yang menjadi pimpinan maatschapnya si notaris yang membiayai tersebut. Jadi di sini akhirnya si notaris masih menguasai, dan memiliki kantor notaris seterusnya, “tidak pensiun-pensiun” walau umurnya sudah lewat 65 atau 67 tahun. Sementara notaris lain gigit jari karena tidak mendapat kesempatan dengan leluasa.
“Kartel” notaris seperti ini akhirnya akan merusak dunia notaris dan melenceng dari visi notaris sebagai jabatan untuk melayani masyarakat. Bukan untuk bisnis. Pejabat negara harusnya mau pensiun jika memang sudah waktunya.
Di dalam revisi UUJN ini usulan kami untuk menghapus maatschap ini tidak diakomodasi, sehingga pasal mengenai maatschap ini masih tetap ada di UU Perubahan Jabatan Notaris.
Usulan kami yang lain adalah masalah pensiun notaris. Usulan kami adalah jika notaris yang hendak memperpanjang usia pensiun dari umur 65 menjadi 67 tahun maka tidak perlu lagi mengajukan diri kepada Menteri. Menurut kami usia pensiun sebaiknya diubah 67 tahun saja, tanpa mengajukan permohonan perpanjangan lagi karena hal ini membuka peluang adanya pungutan liar dan suap. Ini juga sesuai dengan semangat bangsa kita untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. Namun sayang, lagi-lagi, usulan kami ini tidak diterima.
Kami mengusulkan agar pengajuan permohonan perpanjangan pensiun itu dihapus saja karena praktek yang terjadi adalah adanya tawar-menawar (antara oknum pejabat dengan notaris) . Ini sungguh-sungguh dalam praktek terjadi. Kalau kita memang jujur dan konsisten memberantas korupsi dan nepotisme, hapuskan saja ketentuan pengajuan permohonan perpanjangan pensiun ini.
Kami juga mengajukan usulan soal tanggungjawab notaris. Dalam masalah ini selama ini tanggungjawab notaris untuk masalah pidana adalah bersifat terus-menerus walau seorang notaris sudah pensiun.
Kami mengusulkan ada perbaikan dalam masalah tanggungjawab notaris ini karena pada dasarnya produk notaris itu kan perjanjian. Suatu perjanjian tidak mungkin harus baru ketahuan setelah 20 sampai 25 tahun kemudian. Seandainya dalam kurun waktu itu, sebetulnya “diada-adakan” saja.
Sekarang ini notaris yang sudah pensiun 15 tahun kemudian bisa dipanggil polisi, walau protokolnya sudah dipegang orang lain, dan ia harus mempertanggungjawabkan tindakannya membuat sebuah akta yang entah umurnya sudah berapa puluh tahun. Ini menjadi janggal karena dokumennya sudah di tangan notaris lain, kemudian ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya setelah pensiun 15 tahun lalu. Usulan kami dalam revisi pertanggungjawaban notaris atas akta yang dibuatnya adalah maksimal 10 tahun sejak pensiun. Misalnya pensiun 65 tahun, maka pertanggungjawaban terhadap akta yang dibuatnya adalah maksimal pada saat ia berusia 75 tahun. Jadi, yang bersangkutan masih relatif segar ingatannya.
Menurut UU Jabatan Notaris ini, notaris yang umurnya 90 tahun pun bisa diminta bertanggungjawab atas akta yang dibuatnya puluhan tahun lalu. Kan, kasihan. Kasus ini pernah terjadi pada notaris “E” yang setelah 15 tahun pensiun tahu-tahu dipanggil polisi untuk mempertanggunjawabkan akta tersebut, padahal protokolnya sudah dipegang notaris lain. Ia dipanggil polisi untuk mempertanggungjawabkan tindakannya dalam rangka pembuatan akta yang dianggap berkasus, dan tahu-tahu kasusnya dimunculkan kemudian setelah sekian lama.
Dalam kasus ini ada kejanggalan karena kasusnya dimunculkan sekian belas tahun, bahkan sekian puluh tahun lalu. Notaris “E” diseret-seret dalam kasus sengketa antara pengembang dan pembeli tanah. Sampai di kejaksaan Ia dituduh menggelapkan sertitfikat, padahal pengikatan jual-belinya sudah dilunasi pembeli, dan pembeli meminta sertifikatnya dan diberikan. Kemudian hal ini dilaporkan sebagai tindak pidana penggelapan atau penipuan.
Dalam soal ini juga kami mengusulkan perubahan mengenai umur akta yang kami usulkan terbatas sampai 20 tahun. Setelah 20 tahun kemudian ia menjadi kadaluarsa untuk tuntutan tanggungjawab terhadap notaris atas akta tersebut. Dalam hal ini yang kadaluarsa “bukan aktanya”, tapi “tanggungjawabnya. Sedangkan aktanya masih tetap berlaku. Sebab akta ini sudah menjadi alat bukti, menjadi pointers pasal 1866 KUHPerdata tentang Alat Bukti. Alat bukti inilah yang mewakili para pihak yang ada di dalam akta tersebut untuk seterusnya. Sedangkan tanggungjawab notaris untuk mintai keterangan sebaiknya hanya sampai 20 tahun saja. Tapi usulan kami ini tidak diakomodasi juga.
Dengan UU JN yang ada sekarang akta yang sudah dibuat notaris dan menjadi alat bukti otentik, masa berlaku tanggungjawab notaris ternyata lebih dari 20 tahun alias seterusnya. Ini sulit diterima karena masa berlaku sebuah perjanjian atau sebuah perbuatan hukum yang sudah berjalan 20 tahun lebih masih juga dimintakan notaris untuk dimintai keterangan jika ada masalah. Misalnya perjanjian sewa-menyewa, kan tidak sampai 20 tahun biasanya diperbarui. Namun dalam UU JN yang sekarang sampai kapan pun, bahkan lebih dari puluhan tahun, notaris akan bisa dimintakan pertanggungjawaban (pidana) atas hal itu.
Misalnya ada akta perjanjian yang sudah berumur lebih dari 20 tahun, terus dipakai alat untuk penipuan oleh oknum lain. Harusnya notaris sudah tidak ada kewajiban untuk menjadi saksi atau diseret-seret dalam kasus yang sudah lama ini.
Untuk inilah maka kami mengusulkan agar pertanggungjawaban notaris atas kewajiban menjadi saksi sebaiknya maksimal 20 tahun saja. Sementara aktanya sendiri tidak ada batas waktu berlakunya, bisa lebih dari 20 tahun. Mengapa kami mengusulkan tanggungjawab untuk ini hanya sampai 20 tahun saja, karena dalam kurun waktu tersebut bisa saja para pihak atau pihak lain ada mempergunakan akta tersebut untuk tujuan-tujuan tertentu yang tidak baik, misalnya.
Mengenai masalah “kewenangan notaris” dalam membuat akta mengenai pertanahan juga kami usulkan dihapus saja karena menimbulkan pergesekan di dalam pelaksanaannya. Seperti kita ketahui, sejak UUJN Nomor 30 tahun 2004 lalu pasal ini tidak bisa dilaksanakan karena terjadi masalah di dalam pelaksanaannya.
Dalam masalah ini BPN RI merasa dilangkahi wewenangnya karena dengan diberlakukannya pasal ini maka notaris bisa menjalankan kewenangan membuat akta-akta dalam bidang pertanahan tanpa harus menjadi PPAT. Badan Pertanahan akan merasa dilangkahi atau dikesampingkan karena, seperti kita ketahui, PPAT berada di dalam lingkup pekerjaannya, dan PPAT diangkat oleh BPN. Berarti kalau menurut pasal ini, kalau seseorang sudah diangkat menjadi notaris, tanpa PPAT pun sudah bisa membuat akta pertanahan.
Salah satu akibat dari masalah yang timbul dengan adanya pasal ini adalah munculnya ide dari pihak yang tidak setuju akibat pasal ini untuk memisahkan jabatan notaris dan PPAT. Artinya, dengan ini jabatan notaris tidak bisa dijabat oleh 1 orang seperti sekarang. Nantinya, menurut ide ini, seseorang hanya bisa menjadi notaris saja atau hanya menjadi PPAT saja.
Jika disimpulkan maka permasalahan akibat pasal 15 ayat 2 huruf F ini korbannya adalah notaris sebagai akibat terjadinya pergesekan antarlembaga pemerintah. Untuk ini harusnya antarlembaga pemerintah dilakukan koordinasi. Bukan “tendang-menendang” lembaga lain. Menurut UU ini jika seseorang diangkat menjadi notaris, otomatis ia menjadi PPAT, menjadi pejabat lelang atau pejabat lainnya melalui pendidikan yang ditempuh hanya 2 tahun saja di magister kenotariatan. Tidak mungkin dalam sesingkat itu mencetak 3 pejabat sekaligus : seorang yang lulus magister kenotariatan, langsung menjadi pejabat lelang dan PPAT. Belum lagi bila kita bicara soal pasar modal atau koperasi, yang seperti kita ketahui bisa dijabat notaris.
Dalam situasi seperti ini lembaga seperti BPN akan merasa tidak puas karena para notaris yang membuat akta tanah itu cukup diangkat Kementerian. Bukan diangkat oleh BPN.
Yang benar adalah jika notaris ingin menjalankan wewenang membuat akta di bidang pertanahan maka ia harus menjadi PPAT dulu. Untuk ini ia harus melalui tahapan pendidikan dan tes menjadi calon PPAT. Demikian juga jika notaris ingin melaksanakan wewenang dalam masalah lelang, maka ia harus menjadi pejabat lelang setelah melalui pendidikan dan tes calon pejabat lelang. Dengan demikian secara alamiah untuk menjadi pejabat tertentu, harusnya melalui lembaga sendiri-sendiri.
Pemberian wewenang kepada notaris untuk membuat akta-akta yang berkaitan pertanahan atau akta risalah lelang di dalam pasal 15 ayat 2, misalnya, membuat lembaga BPN dan Kementerian Perdagangan merasa dilangkahi. Sebab dengan diangkat menjadi notaris, seseorang bisa masuk “rumah” BPN, dan juga bisa masuk “rumah” Kementerian Perdagangan yang membawahi Direktorat Lelang, atau pasar modal. Akibatnya dalam hal ini Kemenkum HAM seperti menjadi “super power”.
“Ketidakadilan” inilah yang dikritisi BPN dan Direktorat Lelang : PPAT dan pejabat lelang yang merupakan “domain pekerjaan” mereka, ternyata pejabatnya diangkat dan dilantik “orang” lain.
Bila ditinjau dari sisi akademis, lulusan magister kenotariatan tidak seperti lulusan spesialis notaris (Sp. N). Kalau waktu spesialis notaris, lulusannya memang dimaksudkan sebagai tukang (praktisi-red). Sementara itu kalau sekarang lulusan magister kenotariatan (MKn) lebih ke arah pengembangan ilmu, atau ilmiah. Sehingga tidak mungkin dalam dua tahun seseorang bisa menjadi notaris, pejabat lelang dan PPAT sekaligus.
Untuk itulah dalam hal ini saya berpendapat bahwa para lulusan magister notariat ini masih belum cukup “ilmu” untuk mengemban wewenang bermacam-macam itu. Sebab para lulusan magister itu tidak mendapatkan ilmu praktek yang lengkap akibat terbatasnya waktu kuliah dibandingkan dengan materi kuliah yang sangat banyak. Artinya, di dalam pendidikan magister mereka hanya mendapatkan sedikit pengetahuan di dalam waktu yang sangat singkat sehingga hasilnya sangat minim. Sebagai contoh di tempat saya mengajar, para mahasiswa terbatas menerima teori-teori saja. Sementara itu tidak ada waktu lagi untuk mengajarkan kepada mereka ilmu-ilmu pratek.
Efek yang ditimbulkan nanti, secara psikologis, seseorang akan mati-matian menjadi notaris agar bisa sekaligus menjadi PPAT, pejabat lelang, tanpa harus mengikuti pendidikan khusus. Kalau sudah begini seperti apa kualitasnya nanti bila melayani masyarakat. Contoh yang terjadi dalam sehari-hari : seorang notaris yang sudah menjadi PPAT masih salah dalam membuat komparisi!
Untuk itulah makanya untuk menjadi pejabat lelang, misalnya, seseorang harus melalui pendidikan calon pejabat lelang oleh Direktorat Lelang, misalnya. Demikian pula untuk calon PPAT, diadakan pelatihan calon PPAT.

Usulan kami yang lain adalah mengenai INI sebagai wadah satu-satunya organisasi notaris. Sebab organisasi notaris diharapkan menjadi pemersatu. Sementara itu, seperti kita ketahui, Ikatan Notaris Indonesia bukan underbow Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga seandainya Ikatan Notaris Indonesia tidak ada, bisa apa tidak terjadi? Bisa saja, sebab notaris bertanggungjawab secara pribadi sendiri-sendiri kepada Kemenkum HAM.



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas