Pembaca mungkin masih ingat siapa orang yang pernah memohon uji materi UUJN Nomor 30 tahun 2004 pasal 66 ayat (1) tentang frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah…dst” pada Maret 2013 lalu? Permohonan uji materi atas pasal ini akhirnya menghebohkan setelah hakim mengabulkan, dan berakibat teranulirnya frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah…” . Dengan adanya putusan ini berakibat “bebasnya” aparat hukum memanggil dan memeriksa notaris tanpa bisa “disaring” oleh MPD. Kalangan notaris banyak yang protes dan menyayangkan. Namun tidak bisa apa-apa. Pemohon uji itu adalah warga Jakarta Barat bernama Kant Kamal.
Kant Kamal memohon uji materi pasal ini dalam rangka menuntut keadilan atas nasibnya yang terkatung-katung akibat perkaranya tidak ada kejelasan setelah polisi tidak bisa memeriksa lawan berperkaranya, yaitu seorang oknum notaris. Polisi tidak bisa memeriksa si oknum notaris karena tidak bisa menembus tembok “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah…” di pasal 66 ayat (1) UUJN itu.
Namun sesungguhnya yang lebih dikenal bukanlah Kant Kamal. Justru yang banyak dibicarakan adalah kuasa hukumnya yang diketuai Tomson Situmeang dan kawan-kawan karena berhasil menembus “tembok MPD”. Tomson inilah yang akhirnya menjadi topik pembicaraan di kalangan notaris.
Di lain pihak, untuk mencari jalan keluar atas dianulirnya pasal ini, kalangan notaris juga berusaha mengatasi hal ini dengan upaya-upaya memperkuat hubungan baik dengan pihak penegak hukum, terutama dengan melalui nota kesepahaman (Memorandum of Understanding) dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam masalah pemanggilan notaris. Namun agaknya hal ini pelaksanaannya tidak bisa efektif karena setiap penegak hukum memiliki pendirian atau otoritas sendiri-sendiri dalam batas-batas tertentu.
Tak lama setelah itu pasal yang substansi maupun redaksinya “mirip” pasal 66 ayat (1) UUJN Nomor 30 tahun 2004 ini muncul lagi di UU JN Perubahan Nomor 2 tahun 2014 yang disahkan Januari 2014. Uniknya, ketentuan ini berada di pasal yang sama, yaitu pasal 66 ayat (1) UU Jabatan Notaris Notaris Nomor 30 tahun 2004. Jadi seolah-olah tampak seperti berubah namanya, tanpa berubah nomor pasal dan isinya atau substansinya.
Dengan adanya perubahan ini maka penegak hukum yang akan melakukan penyidikan, penuntutan atau mengadili harus minta persetujuan kembali kepada lembaga profesi notaris seperti dulu sebelum dianulir, yaitu kepada MPD. Namun menurut UU Perubahan ini bukan meminta persetujuan MPD, tapi MKN.
Jadi sejak Januari tahun 2014 ini penegak hukum harus meminta persetujuan kepada lembaga MKN untuk memanggil, memeriksa notaris dan seterusnya. Namun intinya adalah notaris setelah itu “terlindungi” lagi dengan frasa “dengan persetujuan MKN” ini.
Ketika UU JN Perubahan ini disetujui dengan diselipkannya pasal Majelis Kehormatan Notaris ini dunia notaris kembali “cerah” karena ada pasal yang bisa dipergunakan untuk melindungi notaris yang menghadapi kasus hukum. Namun konon ketentuan pasal 66 ayat (1) UUJN Perubahan tentang Majelis Kehormatan Notaris ini belum juga terbit peraturan pelaksanannya alias belum bisa berjalan sampai berbulan-bulan, bahkan sampai kini. Entah mengapa.
Alih-alih pelaksanaan Majelis Kehormatan Notaris belum bisa berjalan, mendadak Advokat Tomson Situmeang, SH mengajukan pasal tentang MKN ini ke Mahkamah Konstitusi pada Juli 2014 ini. Tomson mengajukan permohonan uji materi atas namanya sendiri. Tidak seperti dulu ketika menangani UUJN tahun 2012, waktu itu Ia merupakan kuasa hukum hukum Kant Kamal yang mengajukan permohonan ke MK, dan dikabulkan.
Jadi, saat ini pemohonan uji materi UUJN adalah seorang advokat. Advokat yang berpengalaman “menaklukkankan” notaris dalam kasus MPD tahun 2013 lalu.



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas