Prof. Dr. Muladi, S.H.

Prof. Dr. Muladi, SH
Gurubesar Hukum Pidana Universitas Diponegoro

Motto :
Albert Schweitzer (1875-1965): “a man is ethical only when life, as such, is sacred to him, that of plants and animals as that of his fellow men , and when he devotes himself helpfully to all life that is in need of help”;’
Georg Jellinek (1851-1911) : “Das Recht ist nichts Anderes als das ethische Minimum “.

Pejabat Umum Sekaligus Profesi


Berdasarkan UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, seorang notaris berfungsi sebagai seorang yang memiliki jabatan profesi dan sekaligus sebagai ‘Pejabat Umum’. Notaris bertanggungjawab terhadap akta otentik yang dibuatnya, baik berupa akta relaas maupun akta partij, serta tugas-tugas lain yang dibebankan kepadanya berdasar peraturan perundang-undangan (membuat akta pertanahan dan risalah lelang). Notaris dipagari -diatur dan sekaligus juga dilindungi- hak dan kewajibannya serta tanggungjawabnya (rights, privilige and responsibility) oleh nilai dan norma hukum (pidana, perdata dan administrasi) dan nilai serta norma etika (Kode Etik Notaris dan Kode Etik Pejabat Pembuat Akta Tanah). Konsekuensi sebagai ‘Pejabat Umum’ adalah keharusan ketaatan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (general principles of good administration/algemene beginselen van behoorlijke bestuur) yang mencakup, antara lain,

1. asas kepastian hukum;
2. asas tertib penyelenggaran negara;
3. asas kepentingan umum;
4. asas keterbukaan;
5. asas profesionalitas;
6. asas proporsionalitas;
7. asas akuntabilitas;
8. asas efisiensi;
9. asas efektivitas.

Sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah atau PPAT seorang notaris juga harus taat kepada norma-norma yang diatur dalam PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT dan Kode Etik PPAT yang disusun oleh Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( IPPAT).
Sebagai anggota profesi sekaligus sebagai ‘Pejabat Umum’ yang diangkat pemerintah, notaris membawa beban tanggungjawab baik individual, profesi, masyarakat dan negara, baik hukum maupun moral/etika. Belum lagi sebagai anggota Ikatan Alumni Notariat UNDIP yang memiliki etika tersendiri untuk menjaga nama baik almamater, dengan prinsip yang tercermin dari pribadi Pangeran Diponegoro : “heroik, berani, tangguh, religius, ksatria, konsisten, dan jujur”. Dalam hal ini orang bijak menyatakan ‘noblesse oblige’ (noble brings obligation and responsiblity). Selanjutnya sebagai alumnus perguruan tinggi, notaris juga terikat untuk senantiasa mempertahankan budaya dan kebebasan akademis, etika akademis, serta kejujuran atau integritas intelektual yang selalu berorientasi pada kebenaran.
Hukum dan Etika
Etika tidak terlepas dari filosofi (moral philosophy) yang mensistematisasi, mempertahankan dan merekomendasikan konsep-konsep perilaku yang baik dan buruk . Demikian pula ilmu hukum (legal science). Cabang dari filosofi bisa berupa science yang mendasarkan diri pada logika tentang apa yang benar dan salah; bisa pula berupa estetika yaitu pengetahuan tentang kreasi, apresiasi tentang apa yang indah dan tidak indah, seni, citarasa, budaya dan alam .
Ethics yang berasal dari bahasa yunani ethicos berarti sesuatu yang berasal dari kebiasaan. Ethics merupakan suatu cabang utama dari filosofi yang mengkaji tentang nilai atau kualitas yang mencakup analisis dari konsep-konsep seperti benar, salah, baik, buruk, jahat, adil dan tanggungjawab. Sebagai konsep, etika menolong anggota masyarakat untuk mengetahui apa yang harus dilakukan, dan apa yang jangan dilakukan atau yang dapat diterima.
Etika tidak hanya membuat orang mengetahui apa yang dapat diterima (acceptable), tetapi lebih jauh memberi penerangan kepada kita untuk memahami bahwa kita memiliki tanggungjawab (responsibility) terhadap peningkatan dan kesejahteraan orang lain. Titik sentral etika adalah hidup yang baik, hidup yang berharga atau memuaskan dan tidak mengganggu yang baik.
Etika dan hukum kadangkala saling meliputi atau overlapped. Perilaku yang tidak etis sekaligus dapat juga tidak sah menurut hukum, namun adakalanya pula bersifat pararel. Apa yang ilegal mungkin dipandang etis, dan mungkin yang dipandang legal dipandang tidak etis. Misalnya membohongi kawan tidak etis tetapi tidak ilegal. Begitu pula ukuran etis antara kelompok manusia yang satu bisa berbeda dengan kelompok manusia lain, sekalipun dalam suatu masyarakat yang sama yang pluralistik. Kesimpulannya hukum dan etika tidak atau belum tentu merupakan hal yang sama. Namun antara keduanya saling memperkuat (mutual reinforcing) dan bersifat komplementer satu sama lain.
Dengan demikian asas hukum dan nilai etika jalin-menjalin (interwoven) secara erat. Ada kalanya hubungan keduanya bersifat compulsory atau kumulatif, ada kalanya tidak atau berdiri sendiri (alternative). Namun sebagaimana dikatakan Jellinek bahwa hukum selalu mengandung etika yang bersifat minimum das Recht ist das etische Minimum .

Code of ethics memiliki karakteristik :

1. formally written;
2. general principles that guide rather than dictate behavior;
3. to guide and influence actions and decisions in the organizations or associations;
4. it does not mean that the state authority will enforce it upon members or prosecutes violators.;
5. the code of ethics are designed and established to be enforced internally.

Sanksi etik berupa skorsing, pemecatan atau tindakan disiplin yang berlaku internal oleh suatu Dewan Kehormatan organisasi, apabila terjadi pelanggaran terhadap Kewajiban, Larangan yang diatur dalam Kode Etik baik Kode Etik Notaris maupun PPAT, kecuali termasuk yang dikecualikan. (Lihat perumusan Kode Etik Notaris INI dan PPAT).

Asas-asas Etika

Asas-asas etika (ethical principles) pada dasarnya mencakup nilai-nilai sebagai berikut (Josephson Institute, 2010) :
1. honesty;
2. integrity;
3. promise-keeping;
4. loyalty;
5. fairness;
6. caring-concern for orhers;
7. respect for others;
8. law abiding;
9. commitment to execllence;
10. leadership (ethical role models) (individual, social, institutional and universal morality and accountability);
11. reputation and morale (engaging in no conduct that might undermine respect and to correct or prevent inappropriate conduct of others);
12. accountability;

Hal yang berbeda dengan hukum adalah bahwa hukum memiliki sanksi negara yang tegas dan dapat dipaksakan. Contohnya adalah pemberhentian dari jabatan notaris karena melakukan ‘perbuatan tercela’ yang merendahkan kehormatan dan martabat atau karena pelanggaran peraturan jabatan notaris oleh Menteri atas usul Dewan Pengawas Pusat. Dalam hal ini juga diatur tentang hak membela diri. Tidak tertutup kemungkinan, yang bersangkutan bisa mengajukan gugatan PTUN. Untuk menjaga obyektivitas, Majelis Pengawas terdiri atas wakil pemerintah, organisasi notaris dan ahli/akademisi. Demikian pula sepanjang berkaitan dengan Peraturan Jabatan PPAT yang diatur dalam PP No. 37 tahun 1998.
Untuk hal tersebut di atas, silakan lihat "Kewenangan, Kewajiban dan Larangan" dalam UU Jabatan Notaris UU.No. 30 Tahun 2004 Bab III dan PP No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, khususnya tentang Pokok, Larangan dan Kewajiban.
Pada prinsipnya fungsi hukum dan etika sama yaitu untuk menimbulkan daya getar (deterrent effect). Orang takut melanggar Hukum Jabatan karena takut dihukum. Anggota profesi takut melanggar Kode Etik karena takut dipecat sebagai anggota organisasi pofesi.
Orang yang taat pada kode etik (ethical abiding) biasanya juga patuh pada hukum (law abiding). Kode etik sanksinya ringan, hukum sanksinya berat. Sanksi etik seringkali dikatakan tidak pasti (uncertain) dan mengandung alternatif yang banyak (multiple). Hukum sebaliknya memiliki karakteristik : “consistent (menghindari kontradiksi); universal (diterapkan sama dalam keadaan yang sama); published (dipublikasikan tertulis); accepted (harus ditaati); and enforced (dapat dipaksakan).

Legalisasi Etika


Dalam hal-hal tertentu norma etika dapat dilegalisasi dan ditingkatkan menjadi regulasi juridis, apabila norma tersebut sangat mendasar. Karakter regulasi hukum mendekati code of conduct and code of practice, dengan sanksi dari Negara. Contoh beberapa norma kode etik yang sekaligus dirumuskan menjadi norma Jabatan Notaris atau PPAT.
Ada perbedaan antar code of ethics dan code of conduct . Kode etik lebih bersifat umum, mengandung asas-asas dasar seperti kejujuran, transparansi dan keadilan, dirumuskan dengan kata-kata ‘sebaiknya atau seharusnya’ (ought or should and not must) dan berisi petunjuk umum (general guidance). Sementara itu ‘Code of conduct’ lebih bersifat khusus berisi perilaku dan tindakan, merupakan praktek dari penerapan asas dalam kode etik dan konsekuensinya dalam profesi tertentu. Lebih jauh lagi apa yang dinamakan ‘Code of practice’ memberikan panduan yang jelas tentang perilaku apa yang benar, etis dan jelas dalam kondisi tertentu dalam organisasi profesi tertentu yang disepakati untuk ditaati.

Etika adalah Elemen Profesionalisme

Kode etik merupakan kelengkapan persyaratan suatu profesi yang berintikan “expertise (knowledge, skill and competence) , responsibility (altruistic service), and corporateness (being member of professional association) and autonomous (self employed)”. Organisasi notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
Pelanggaran kode etik tidak selalu merupakan pelanggaran hukum. Tetapi pelanggaran hukum yang disertai pelanggaran kode etik merupakan alasan pemberatan (aggravating circumstances) dari unsur sifat melawan hukum pidana dan penyalahgunaan wewenang (wederrechtelijkheid en misbruik van macht) atau unsur melanggar hukum perdata (ontrechtmatige) yang bersifat materiil.
Kualifikasi sebagai pelanggaran hukum pidana mensyaratkan adanya elemen-elemen : manipulasi; kecurangan (deceit); akal-akalan (subterfuge); penyembunyian kenyataan (concealment of facts); pelanggaran kepercayaan (breach of trust); penyesatan (misrepresentation); dan/atau pengelakan peraturan (illegal circumvention). Dengan elemen-elemen tersebut, ‘maladministration’ atau ‘civil case’ menjurus menjadi tindak pidana karena disertai sikap batin kesengajaan jahat (dolus malus or deliberate dishonesty).

Profesi dan Penegakan Hukum

Dunia profesi sangat dihormati, apalagi profesi notaris yang sekaligus merupakan ‘Pejabat Umum’. Profesi ini juga harus tunduk pada prinsip-prinsip ‘good governance’ atau asas-asas umum pemerintahan yang baik. Penghormatan tersebut nampak dari penegakan hukum yang harus ditapis (filtered) terlebih dahulu oleh Majelis Pengawas. Dalam hal ini Pasal 66 ayat (1) huruf b UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menegaskan bahwa untuk kepentingan peradilan, penyidik, penuntut umum dan atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang untuk memanggil notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau protokol notaris yang berada dalam penyimpanan notaris.
Di dalam Peraturan Menkumham No. M.02.PR.078.10 Tahun 2004 dinyatakan apabila ditemukan dugaan adanya unsur pidana yang dilakukan oleh Terlapor, maka Majelis Pemeriksa wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Notaris yang selanjutnya wajib dilaporkan kepada instansi yang berwenang.
Untuk hal ini sudah ada nota kesepahaman antara Kepolisian Negara RI dengan INI dan IPPAT tahun 2006 tentang Pembinaan dan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum. Menurut nota kesepahaman ini, dalam lampirannya ditegaskan bahwa tindakan penyidik berupa pemanggilan, penyitaan dan tindakan lain dapat dilakukan kepada notaris/PPAT baik selaku saksi maupun tersangka sesuai dengan Pasal 66 UUJN setelah memperoleh persetujuan Majelis Pengawas. Sementara itu notaris atau PPAT wajib memenuhi panggilan tersebut, dan pemeriksaan yang berkaitan dengan suatu peristiwa pidana harus jelas.
Demikian pula Peraturan Menkumham RI No. M.03.ht.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris. Dalam Pasal 14 s/d 16 mengenai Prosedur Pemanggilan Notaris oleh penyidik, penuntut umum atau hakim kepada notaris harus melalui permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah untuk kepentingan proses peradilan baik selaku saksi, sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa. Dengan demikian hukum pidana bersifat ‘ultimum remedium’ atau berfungsi subsider. Penolakan di samping alasan di luar ketentuan, juga berkaitan dengan pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris atau pelanggaran UUJN, yang tidak berkaitan dengan akta. Pelanggaran ini dapat diajukan pada MPD, MPW, MPP dengan konsekuensi sanksi administratif yang diputuskan Menkumham atas dasar keputusan Majelis Pengawas.

Malpraktek

Persoalan malpraktek (malpractice) yang sering dikaitkan dengan kehidupan profesi harus mengandung unsur : ‘duty, breach of duty, damage and causation’. Dalam profesi notaris persoalan lebih banyak berkaitan dengan hukum perdata dan hukum administrasi, karena tindak pidana yang kemungkinan dilakukan notaris lebih bersifat kesengajaan, misalnya pemalsuan akta s/d pencucian uang). Dengan demikian kasus malpraktek yang cenderung berelemen ‘negligence’ akibat kurang pengetahuan, kurang pengalaman atau kurang ketrampilan sehingga menyebabkan kerugian orang lain, dapat dituntut secara administratif atau perdata untuk penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Dari sisi administratif pelanggaran peraturan Jabatan Notaris bisa mengkibatkan akta yang cacat hukum yang kehilangan otentitasnya menjadi akta di bawah tangan atau batal demi hukum. Sanksinya mulai dari teguran lisan, teguran tertentu, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat dan pemberhentian dengan tidak hormat atas usul Majelis Pengawas Pusat oleh Menteri.
Sanksi dalam kode etik notaris bagi yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa teguran, peringatan, skorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan. Yang menarik adalah Majelis Pengawas Daerah juga berwenang memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris, di samping pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris. Pertanyaannya apakah pelanggaran kode etik notaris dapat dikategorikan sebagai “perbuatan tercela” sehingga menjadi alasan pemberhentian notaris ? Dalam penjelasan Pasal 12 hurif c UU No. 30 Tahun 2004 dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘perbuatan tercela’ adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan dan norma adat, sedangkan arti ‘perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat, misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba dan berzina.
Alasan pemberhentian dengan tidak hormat seperti yang tercantum dalam PP Jabatan PPAT (PP No. 37 Tahun 2008) berupa ‘dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap’ tidak diatur dalam UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Dampak Penjatuhan Sanksi Kode Etik

Persoalan selanjutnya adalah sampai seberapa jauh dampak sanksi kode etik terhadap jabatan notaris karena sifatnya yang berada di lingkungan internal organisatoris. Apalagi dalam UU No. 30 Tahun 2004 tidak disebutkan nomenklatur INI, tetapi hanya ‘organisasi notaris’ (organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum) saja. Tidak mustahil seorang notaris yang diberhentikan dari ‘INI’ masuk ke organisasi notaris lain. Sekarang saja ada dua macam organisasi notaris yaitu INI dan Pengurus Kolektif akibat kekisruhan dalam Kongres INI di Yogyakarta. Kekuatan sanksi ini berbeda dengan sanksi terhadap pelanggaran Peraturan Jabatan Notaris, misalnya atas rekomendasi Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Pusat dapat mengusulkan pemberhentian notaris kepada Menteri. Dengan demikian keberadaan satu organisasi notaris yang kuat dan berwibawa sangat dibutuhkan.

Pelanggar etik, Potential Offender


Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa seorang notaris yang taat kepada kode etik profesi (ethical abiding) sebagaimana diucapkan waktu disumpah dengan sanksi yang relatif lemah dapat diharapkan akan menjadi pribadi yang selalu taat kepada norma hukum (law abiding) yang sanksinya berat. Sebaliknya pelanggar Kode Etik (ethical violator) cenderung akan merupakan “potential offender” terhadap norma hukum yang berlaku. Menurut Immanuel Kant (1724-1804) : ‘In law a man is guilty when he violates the rights of other. In ethics he is guilty if he only thinks of doing so’.


(Materi Kuliah Umum kepada Peserta, Undangan, Notaris, Mahasiswa Magister Kenotariatan UNDIP, dalam rangka Deklarasi berdirinya IKANOT UNDIP, Semarang, 4 Oktober 2012.)





Komentar Untuk Berita Ini (0)

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas