Oleh : H. Ikhsan Lubis, SH,SpN
Ketua Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia (INI)
TUGAS PELAYANAN NOTARIS.
Dalam pelaksanaan tugas jabatannya Notaris sebagai Pejabat Umum selain berwenang untuk membuat akta autentik dan akan tetapi juga memiliki kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris atau berdasarkan undang-undang lainnya yang kesemuannya diperbuat dengan tujuan untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum sebagai alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang.
Selain itu, Notaris sebagai Pejabat Umum dalam memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang menjalankan tugas jabatannya dipandang perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum dengan membebankan kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan Akta dan surat-surat lainnya yang tujuannya untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan Akta tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disebut UUJN) secara tegas menyebutkan tentang adanya kewenangan Notaris adalah sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.
Kewajiban untuk melakukan pencatatan dalam repertorium terhadap semua akta maupun surat yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris secara yuridis dapat dikwalifikasikan sebagai dokumen resmi bersifat autentik yang memerlukan pengamanan baik terhadap Akta itu sendiri maupun terhadap isinya untuk mencegah penyalahgunaan secara tidak bertanggung jawab dan kumpulan dokumen yang selanjutnya disebutkan sebagai Protokol Notaris merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kewajiban menyimpan dan memelihara Minuta Akta berupa asli Akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris yang wajib disimpan sebagai bagian dari Protokol Notaris yang tujuannya untuk menjaga keautentikan suatu Akta dengan menyimpan Akta dalam bentuk aslinya yang bertujuan apabila nantinya dikemudian hari ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan, atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya, dan berbeda dengan “Akta in originali” yang dibuat oleh Notaris dengan menyerahkan aslinya kepada pihak yang bersangkutan.
KEWENANGAN NOTARIS.
Pasal 15 Ayat (1) UUJN menentukan bahwa, Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Rumusan ketentuan Pasal 15 Ayat (1) UUJN mempunyai unsur-unsur sebagai berikut :
Notaris berwenang membuat Akta autentik,
Mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, dan yang tujuannnya untuk :
Menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta,
Menyimpan Akta,
Memberikan grosse,
Memberikan salinan, dan
Memberikan kutipan Akta,
Semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Selain kewenangan dalam pembuatan akta autentik tugas jabatan Notaris juga memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuanPasal 15 Ayat (2) menyebutkan bahwa, Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris berwenang pula :
- Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; Penjelasan Pasal 15 Ayat (2) Huruf a UUJN menyebutkan bahwa, Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
- Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
- Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
- Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
- Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan Akta;
- Membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
- Membuat Akta risalah lelang.
Penjelasan Pasal 15 Huruf g menyebutkan bahwa, Ketentuan ini dimaksudkan bahwa pengangkatan Notaris menjadi Pejabat Lelang Kelas II, diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Konstruksi Yuridis yang dipergunakan oleh UUJN tentang kewenangan tugas jabatan Notaris tersebut tidak terbatas kepada pembuatan akta autentik pada Ayat (1) dan perbuatan hukum lainnya ttersebut dalam Ayat (2) dan akan tetapi juga memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksudkan dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (3) UUJN menegaskan bahwa, Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 15 Ayat (3) menyebutkan bahwa, Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain :
Kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary),
Membuat Akta ikrar wakaf, dan
Hipotek pesawat terbang.
Dengan demikian dalam pelaksanaan tugas dan jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum telah mempunyai kewenangan yang diatur secara limitatif (terinci dan lengkap) dalam UUJN, sehingga produk Akta maupun produk perbuatan hukum lainnya yang diperbuat oleh atau dihadapan Notaris dapat dipergunakan sebagai alat pembuktian dikemudian hari oleh para pihak yang berkepentingan secara langsung.
NOTARIS SEBAGAI PIHAK PELAPOR
Dalam pelaksanaan tugas-tugas jabatannya Notaris telah diberikan beban tanggung jawab sebagai salah satu pihak pelapor sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, dan selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 3 Pihak Pelapor selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 mencakup juga :
Advokat ;
Notaris ;
Pejabat Pembuat Akta Tanah ;
Akuntan ;
Akuntan publik, dan
Perencana keuangan.
Peraturan Pemerintah Nomor : 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Lebih lanjut ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor : 43 Tahun 2015 sebagaima tersebut dalam Pasal 4 Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 wajib melaksanakan penerapan maupun penegakan prinsip mengenali pengguna jasa dalam pelaksanaan tugas jabatannya sebagai Notaris, dan kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa juga berlaku bagi profesi Advokat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, profesi Akuntan atau Akuntan publik, dan Perencana keuangan.
Adapun kualifikasi kewajiban penerapan prinsif mengenali Pengguna Jasa diatur dalam secara terinci diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor : 43 Tahun 2015 termuat dalam Pasal 8 Ayat (1) yang menyebutkan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, mengenai :
Pembelian dan penjualan properti ;
Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya ;
Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/atau rekening efek;
Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/atau
Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.
Meskipun demikian terdapat pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menurut ketentuan Pasal 8 Ayat (2) dikecualikan bagi Advokat yang bertindak untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, dalam rangka:
Memastikan posisi hukum Pengguna Jasa; dan
Penanganan suatu perkara, arbitrase, atau alternatif penyelesaian sengketa.
Dengan demikian Notaris wajib menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa sebagaimana diamanatkan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor : 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang pada pokoknya berisi aturan yang bersifat tehnis tentang tata cara penerapan maupun penegakan prinsip mengenali pengguna jasa.
PRINSIP MENGENALI PENGGUNA JASA.
Berdasarkan Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris yang dalam beberapa ketentuannya telah memberikan petunjuk tehnis untuk mengenali Pengguna Jasa Notaris yang tujuannya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak pelapor, dan selanjutnya ketentuan tentang kewajiban Notaris untuk menerapkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa diatur dalam BAB II Bagian Kesatu Umum sebagaimana dimuat dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Notaris wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa.
Kewajiban Notaris dalam menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa merupakan bahagian terpenting dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak pelapor, dan akan tetapi dalam pelaksanan tugas jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f dari UUJN dapat disimpulkan rumusan hukum yang bersifat imperatif tentang kewajiban yang melekat dalam tugas jabatannya sebagai Notaris dalam rangka merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, terkecuali Undang-undang menentukan lain.
Adapun ruang lingkup yang berkaitan dengan kewajiban penerapannya bagi pelaksanaan tugas jabatan Notaris secara terinci dimuat dalam Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 yang termuat dalam Pasal 2 Ayat (2) yang secara tegas meneyebutkan bahwa Prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) paling sedikit memuat:
Identifikasi Pengguna Jasa;
Verifikasi Pengguna Jasa; dan
Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
Selain itu, ketentuan Pasal 2 Ayat (3) menegaskan dalam rangka Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) berlaku bagi Notaris dalam memberikan jasa berupa mempersiapkan dan melakukan transaksi untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa, mengenai:
Pembelian dan penjualan properti;
Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya;
Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/atau rekening efek;
Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan; dan/atau;
Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 43 Tahun 2015 termuat dalam ketentuan Pasal 8 Ayat (1) yang menyebutkan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 wajib menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK untuk kepentingan atau untuk dan atas nama Pengguna Jasa.
Lebih spesifik ketentuan Pasal 2 Ayat (4) menentukan tentang adanya Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) dilakukan pada saat:
Melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa ;
Terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
Terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pen.danaan terorisme; atau
Notaris meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa.
TINDAKAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN.
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan kebijakan terkait dengan penerbitan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (disingkat Permenkumham RI) Nomor : 15 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat (TCPPPMPM) yang pada pokoknya berisi aturan yang bersifat tehnis tentang tata cara penyampaian keterbukaan informasi pemilik manfaat dari Korporasi atau dikenal dengan istilah Beneficial Ownership (BO), dan latar belakang lahirnya Permenkumham RI didasarkan sebagai upaya serius (komitmen) dari Pemerintah untuk menegakkan dan menerapkan secara bersungguh-sungguh agar ketentuan yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).
Pokok permasalahannya dalam pelaksanaan tugas jabatanya terikat dengan Kewajiban Ingkar yang diikuti dengan adanya Hak Ingkar Notaris terkait dengan adanya kewajiban mengenali Pengguna Jasa Notaris yang tujuannya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak Pelapor, dan bagaimanakah Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap Notaris yang dalam mejalankan tugasnya dengan iktikad baik yang diwajibkan merahasiakan dokumen maupun keterangan-keterangan yang diperolehnya sebagai dasar pembuatan produk Akta maupun produk perbuatan hukum lainnya yang diperbuat oleh atau dihadapan Notaris.
Sebagaimana diketahui dalam pelaksaan tugas jabatannya telah ditentukan secara tegas tentang adanya kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya, dan kewenagan yang melekat pada jabatan Notaris diberikan dalam bidang hukum keperdataan.
Berkenaan dengan keberadaan Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris yang dalam beberapa ketentuannya telah memberikan petunjuk tehnis untuk mengenali Pengguna Jasa Notaris yang tujuannya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak pelapor, dan selanjutnya menjadi pertanyaan apakah tidak bertentangan dengan keberadaan Hak Ingkar (verschoningrecht) dan Kewajiban Ingkar (verschoningsplicht) dari Notaris melekat dalam kedudukan dan jabatannya sebagai Pejabat Umum
HAK INGKAR NOTARIS.
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (disingkat UUJN) penggunaan hak ingkar belum menjadi pokok bahasan serius yang akibatnya dalam pelaksanaan tugas jabatannya Notaris sering kali diminta secara langsung oleh Penyidik, Penuntut umum dan Hakim untuk memberikan kesaksian mengenai isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya.
Setelah berlakunya UUJN penegakan hukum yang berkaitan dengan Kewajiban merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta yang mengandung unsur "Kewajiban Ingkar Notaris dan Hak Ingkar Notaris".
Melalui kententuan yang diatur dalam pasal 66 ayat (1) UUJN dinyatakan pemeriksaan terhadap Notaris harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah", dan akan tetapi kemudian ketentuan tersebut dianggap sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang mengenai frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PPU-X/2012.
Hak Ingkar Notaris merupakan alasan pembenaran yang diperkenankan UU terhadap seorang Notaris untuk meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian mengenai isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, dan hak ingkar Notaris merupakan salah satu bahagian dari Kewajiban Ingkar Notaris.
Penggunaan Hak Ingkar Notaris diatur secara sporadis dalam beberapa ketentuan UU, yaitu Pasal 1909 KUH Perdata, Pasal 146 HIR, Pasal 170 KUHP, serta pasal 89 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dan dasar hukum pembebasan Notaris dari kewajiban memberikan kesaksian terdapat dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf f, dan Pasal 54 UUJN dan selanjutnya sanksi Pidana bagi Notaris yang melanggar kewajiban untuk merahasiakan tersebut diatur dalam Pasal 322 KUHP dan Sanksi Administrasi kepada Notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (11) UUJN.
Selain itu Pasal 170 Ayat (1) KUHAP juga menegaskan, bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka, dan penjelasan pasal 170 Ayat (1) menyebutkan bahwa Pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.
Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 170 Ayat (2), menyebutkan Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut, dan penjelasan Pasal 170 Ayat (2), menyebutkan bahwa Jika tidak ada ketentuan peraturan perundang - undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh ayat ini, Hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.
Dalam hal memberikan kesaksian, seorang Notaris tidak dapat mengungkapkan akta yang dibuatnya baik sebagian maupun keseluruhannya, karena hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 UU Jabatan Notaris berbunyi “Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta dan Kutipan Akta kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris atau orang yang mempunyai hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.”
KEWAJIBAN INGKAR NOTARIS
Selanjutnya berdasarkan UUJN No.2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UUJN No.30 Tahun 2004 yang pada pokoknya berisi tentang penegasan kembali arti pentingnya pelindung hukum bagi Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai Pejabat Umum dalam menjaga kerahasiaan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta.
Melalui ketentuan Pasal 66 UU No. 2 Tahun 2014 (UUJN Revisi) menjadi tongak sejarah yang memberikan penghargaan kepada pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang harus dilindungi sebagai Pejabat Umum dengan Kewajibannya merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, dan karenanya Pasal 66 UU No. 2/2014 merupakan dasar hukum pelaksanaan hak dan kewajiban ingkar bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya.
Meskipun Kewajiban Ingkar Notaris lebih bersifat memaksa (imperatif) secara hukum akan menjadi gugur dan tidak dapat dipertahankan apabila menurut ketentuan pasal 66 UUJN yang nantinya apabila atas permintaan dari Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim yang telah mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari MKN untuk kepentingan proses Peradilan, Penyidikan, Penuntutan berwenang :
- Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris ; dan
- Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau
Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
Gugurnya Kewajiban Ingkar Notaris dan/atau Hak Ingkar Notaris sejalan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : 7 Tahun 2016 Tentang Majelis Kehormatan Notaris yang menentukan pemanggilan terhadap Notaris oleh Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (MKNW) Propinsi.
Berkenaan dengan keberadaan Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris yang dalam beberapa ketentuannya telah memberikan petunjuk tehnis untuk mengenali Pengguna Jasa Notaris yang tujuannya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak pelapor, dan selanjutnya menjadi pertanyaan apakah tidak bertentangan dengan keberadaan Hak Ingkar (verschoningrecht) dan Kewajiban Ingkar (verschoningsplicht) dari Notaris melekat dalam kedudukan dan jabatannya sebagai Pejabat Umum
Merujuk kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN mengenai sumpah/janji Notaris ditegaskan “…bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya..”, dan dari rumusan ketentuan sumpah jabatan tersebut terdapat unsur-unsur yang berkaitan dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan :
- Isi akta, dan
- Keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan.
Dan selanjutnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN disebutkan bahwa Notaris berkewajiban untuk “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”, dan dari ketentuan tersebut secara tegas dan jelas dirumuskan tentang kewajiban Notaris untuk merahasiakan mengenai :
- Segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya,
- Segala keterangan yang diperolehnya.
- Guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan,
- Kecuali undang-undang menetukan lain.
Berdasarkan kedua ketentuan pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f dari UUJN dapat disimpulkan rumusan hukum yang bersifat imperatif tentang kewajiban yang melekat dalam tugas jabatannya sebagai Notaris dalam rangka merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, terkecuali Undang-undang menentukan lain, maka Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris sebagaimana dimuat dalam Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 tidak mungkin diterapkan dengan serta merta sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 Ayat (2) point. c yang secara tegas meneyebutkan Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa.
Hak Ingkar merupakan pengertian tehnis yuridis yang menyebabkan suatu kewajiban hukum akan menjadi batal apabila digugurkan oleh Hakim berdasarkan Pasal asal 170 KUHAP, Pasal 1909 KUHPerdata, Pasal 146 HIR, dan Pasal 174 RBg.
Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Notaris sesuai formalitas pembuatan akta lebih bersifat pasif yang tujuannya menerangkan apa yang menjadi maksud dan kehendak para penghadap, termasuk dalam identifikasi penghadap yang dilakukan Notaris melalui dokumen Kartu Tanda Penduduk (KTP) atau kartu tanda pengenal lainnya yang dikeluarkan intansi yang berwenang tentang identitas yang lebih bersifat formil dan Identifikasi Pengguna Jasa berupa dokumen lainnya sangat tergantung kepada pihak lain/instansi lain yang oleh Notaris diterima sebagai bukti formal berupa Pembelian dan penjualan properti terkait dengan Kantor Pertanahan, Pengelolaan terhadap uang, efek, dan/atau produk jasa keuangan lainnya terkait dengan lembaga keuangan Perbankan, dan Pengelolaan rekening giro, rekening tabungan, rekening deposito, dan/atau rekening efek terkait dengan lembaga keuangan Perbankan serta Pengoperasian dan pengelolaan perusahaan, dan/atau Pendirian, pembelian, dan penjualan badan hukum terkait dengan proses pengesahan dan pendaftaran pada Kemenkumhan RI (AHU Online).
Keberadaan Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (2) yang secara tegas menyebutkan Prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) paling sedikit memuat Identifikasi Pengguna Jasa, Verifikasi Pengguna Jasa dan Pemantauan Transaksi Pengguna Jasa yang tujuannya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak pelapor.
Dengan demikian Kontruksi Yuridis dari penggunaan istilah tehnis "Kewajiban Ingkar" secara langsung berasal dari dan diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN dalam pelaksanaan tugas jabatannya tidak dapat dengan serta merta diberikan beban dan tanggung jawab kepada Notaris yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya, dan terlebih-lebih apabila nantinya penerapan Prinsip mengenali Pengguna Jasa lebih bersifat materiil yang bukan menjadi tugas dan kewenangan Notaris sebagai Pejabat Umum, dan akan tetapi sebagai warga Negara yang baik seorang Notaris berkewajiban memberikan dukungan terhadap keberadaan Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris yang tujuannya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak pelapor.
Berlainan dengan konstruksi yuridis yang dipergunakan dalam Penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi yang diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa penyampaian Informasi Beneficial Ownership (BO) lebih membebankan penerapan kewajiban pelaporan kepada Korporasi itu sendiri dan Notaris hanya menyajikan data sesuai tahapannya dapat dilakukan secara elektronik melalui AHU Online sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua tentang Penyampaian Informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi Pada Saat Permohonan Pendirian, Pendaftaran, dan/atau Pengesahan Korporasi sebagaimana diatur dalam Permenkumham RI Nomor : 15 Tahun 2019.
Berdasarkan Permenkumham RI Nomor : 9 Tahun 2017 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris yang tujuannya dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang yang wajib diterapkan oleh pihak pelapor, maka Direktorat Jenderal Administrasi Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam suratnya Nomor : AHU.2.UM.01.01-1854 Tertanggal 29 MEI 2020 yang ditujukan kepada Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI) untuk disosialisasikan kepada seluruh anggota Notaris di Indonesia terkait dengan kebijakan Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) Bagi Notaris dalam Rangka Mutual Evaluation Review (MER) Financial Action Task Force (FATF) dan Pengisian Form Costumer Due Diligence (CDD) yang merupakan bentuk daftar isian yang terdiri dari :
Formulir CDD Perserorangan,
Formulir CDD Korporasi,
Formulir CDD untuk Perikatan Lainnya (Legal Arrangement), dan
Formulir Penilaian Tingkat Resiko.
Surat dari Direktorat Jenderal Administrasi Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : AHU.2.UM.01.01-1854 Tertanggal 29 MEI 2020 secara sederhana dapat ditafsirkan terkait dengan Form CDD tersebut ditujukan kepada perserangan dan/atau badan hukum Korporasi dan untuk perikatan lainnya (Legal Arrangement) serta dalam rangka penialaian tingkat resikio, dan tidak ada secara spesifik untuk kepentingannya sendiri yang mewajibkan Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya sebagai Pejabat Umum untuk mengisi salah satu dari Formulir Pengisian Form Costumer Due Diligence (CDD) tersebut.
Pengisian form Costumer Due Diligence (CDD) dilakukan pada saat Notaris melakukan hubungan usaha, bertindak untuk dan atas nama pengguna jasa (bukan untuk diri sendiri), dan pengisian form Costumer Due Diligence (CDD) bertujuan untuk membantu Notaris dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang memanfaatkan jasa Notaris.
Selanjutnya pengisian form Costumer Due Diligence (CDD) oleh Penggunan Jasa Notaris merupakan bahagian dari Dokumen pembuatan akta yang harus disimpan sebagai Protokal Notaris sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang Nomor : 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-undang Nomor : 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) Bagi Notaris dalam Rangka Mutual Evaluation Review (MER) Financial Action Task Force (FATF) dan Pengisian Form Costumer Due Diligence (CDD) yang merupakan salah satu kebijakan yang didasarkan sebagai upaya serius (komitmen) dari Pemerintah untuk menegakkan dan menerapkan secara bersungguh-sungguh agar ketentuan yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor : 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU-PPTPPU) dan Undang-undang Nomor : 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (UU-PPTPPT).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 43 Tahun 2015 tentang Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pasal 4 disebutkan Pihak Pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 wajib melaksanakan penerapan maupun penegakan prinsip mengenali pengguna jasa dalam pelaksanaan tugas jabatannya sebagai Notaris, dan kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa juga berlaku bagi profesi Advokat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, profesi Akuntan atau Akuntan publik, dan Perencana keuangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Penerapan PMPJ Bagi Notaris merupakan salah satu rekomendasi yang akan dinilai dalam Mutual Evaluation Review (MER) FATF yang rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2020, dan terkait dengan persiapan MER FATF tersebut Direktorat Jenderal Administrasi Hukum bersama Ikatan Notaris Indonesia telah menyepakati bentuk form Costumer Due Diligence (CDD) untuk dilaksanakan pada saat pelaksanaan jabatannya.
*) Disampaikan dalam rangka Sosialisasi Secara Daring Melalui Aplikasi Zoom Terkait Peningkatan Pengawasan Notaris Dengan Pengenalan Pengguna Jasa Notaris Guna Menghidari Praktik Pencucian Uang yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Sumatera Utara pada hari Jum’at tertanggal 12 Juni 2020.
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Kirim Komentar