Heidy Handriati, S.H., M.Kn. - notaris
Perjanjian pra-nikah adalah perjanjian yang diadakan oleh calon pasangan suami-isteri sebelum atau pada saat dilangsungkan pernikahan. Perjanjian pra-nikah ini dilakukan dengan maksud menegaskan hak dan kewajiban para pihak yang akan melangsungkan pernikahan. Ini penting karena akan memberikan kejelasan posisi masing-masing pihak bila ternyata dalam perjalanan perkawinan ternyata terjadi perceraian.
Dengan adanya perjanjian pra-nikah, pasangan yang bercerai akan sudah tahu posisi, hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan sudah memahami posisi, hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bercerai ini diharapkan proses perceraian dan penyelesaian pembagian harta dan lainnya menjadi lancar tanpa adanya keributan. Dalam hal ini juga termasuk mengenai masalah hak asuh terhadap anak yang tidak jarang terjadi keributan, dan bahkan sampai berlarut-larut karena tidak adanya kata sepakat. Dalam praktek, perjanjian pra-nikah banyak dilakukan oleh pasangan non-muslim, sementara itu untuk pasangan muslim hal ini tidak banyak terjadi.
Untuk perjanjian pra-nikah yang dilakukan, umumnya adalah mengenai masalah harta. Setelah harta, sebagian orang membuat perjanjian pra-nikah untuk menegaskan hak dan kewajiban pasangan yang cerai mengenai hak pengasuhan anak.
Berikut ini adalah kasus dimana perjanjian pra-nikah bisa menjadi pilihan manakala pihak yang akan menikah ternyata salah atunya adalah non muslim yang masuk Islam karena akan menikah secara Islam. Atau masuk Islam sebelum perkawinan, setelah itu menjalani akad nikah secara Islam.
Di dalam perjanjian perkawinan, pihak yang tadinya masuk Islam, ternyata dalam perjalanan kemudian keluar dari Islam, dan kembali lagi ke agamanya sehingga pihak pasangannya menjadi keberatan dan akhirnya terjadi perceraian. Perceraian ini tidak akan membawa masalah manakala ada kesepakatan antara para pihak soal harta dan pengasuhan anak selanjutnya.
Namun akan terjadi masalah kalau terjadi sengketa atau tidak ada kata sepakat soal harta atau pengasuhan anak. Di dalam kasus yang terjadi di sebuah pengadilan agama di Jakarta ini kasusnya adalah suami beragama Islam, istrinya semula beragama X dan masuk Islam.
Di dalam perkawinan yang berjalan mulus selama belasan tahun itu dilahirkan 2 anak yang saat itu berumur masing-masing 9 dan 11 tahun. Pada saat itu keduanya sering cekcok. Kadang-kadang intensitas pertengkaran ini makin kuat dan tinggi. Bahkan suatu ketika si istri kabur dari rumah. Ketika si istri kabur, suami mendapati barang-barang pribadi istrinya yang tertinggal, di antaranya adalah KTP atas nama istrinya, dan paspor atas nama istri dan anak-anaknya. Juga si suami menemukan sebuah alat beribadah agama yang dianut semula oleh si istri. Rupanya masalah ini adalah rahasia si istri yang selama ini disembunyikan si istri.
Dari sini kemudian si suami merasa kuat dugaannya bahwa sebenarnya si istri sudah kembali ke agamanya semula. Berarti, menurutnya, si sitri sudah keluar dari komitmennya sebagai istri seorang muslim. Sementara itu, saat kabur, si istri mengajukan permohonan gugat cerai dengan alasan bahwa perkawinan mereka tidak akan menjadi baik kalau diteruskan.
Kepada pengadilan si istri mengadukan bahwa si suami sering melakukan penganiayaan.
Nah, pada saat itulah si suami mengajukan sanggahan bahwa si istri tidak lagi mengikuti agamanya lagi sesuai syariah Islam, dengan mengajukan bukti-bukti KTP, paspor dan peralatan ibadah. Rupanya tanpa sepengetahuan suami, si istri membuat KTP aspal dan paspor dengan agama non muslim. Atas hal ini si suami juga khawatir jika anak-anaknya dibawa ke luar negeri dengan membuat pasopr secara diam-diam.
Selain itu dalam proses persidangan, hakim juga memanggil anak-anak mereka untuk memberikan kesaksian. Salah satu keterangan anak-anaknya adalah bahwa si ibu sering mengajarkan agama ibunya yang semula, yaitu agama non Islam, kepada anak-anaknya jika ayahnya tidak ada di rumah.
Di dalam kasus ini kedua belah pihak tidak mempermasalahkan harta mereka. Yang mereka permasalahkan justru adalah masalah pengasuhan anak-anak mereka dengan tujuan membawa anak-anak itu semua dan mengikuti agamanya.
Menurut keterangan panitera yang tidak mau disebutkan namanya, dalam kasus seperti ini biasanya hakim memutuskan bahwa pihak yang keluar dari agama Islam tidak diberikan hak untuk mengasuh anak-anaknya.
Betul juga akhirnya hakim pengadilan agama itu akhirnya menjatuhkan putusan bahwa yang diberikan hak untuk mengasuh anak adalah yang masih Islam, yaitu si suami. Tetapi, sisi baiknya, si istri menerima putusan hakim itu dengan baik tanpa ada keberatan sama sekali.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa perjanjian pra-nikah merupakan salah satu pilihan yang baik untuk dipertimbangkan sebelum menikah jika pasangan muslim, yang salah satunya mualaf (baru masuk Islam) karena akan menikah. Sehingga jika pihak yang mualaf itu kemudian murtad maka keduanya tidak perlu berlama-lama lagi menjalani proses peradilan yang melelahkan. Proses perceraian dengan disertai sengketa malah harta dan atau hak pengasuhan anak, seringkali malah menyusahkan semuanya, termasuk anak-anaknya. Dengan perjanjian pra-nikah ini nantinya hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak akan diatur, bahkan jika terjadi perceraian sekalipun.
Dengan adanya perjanjian pra-nikah, pasangan yang bercerai akan sudah tahu posisi, hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan sudah memahami posisi, hak dan kewajiban masing-masing pihak yang bercerai ini diharapkan proses perceraian dan penyelesaian pembagian harta dan lainnya menjadi lancar tanpa adanya keributan. Dalam hal ini juga termasuk mengenai masalah hak asuh terhadap anak yang tidak jarang terjadi keributan, dan bahkan sampai berlarut-larut karena tidak adanya kata sepakat. Dalam praktek, perjanjian pra-nikah banyak dilakukan oleh pasangan non-muslim, sementara itu untuk pasangan muslim hal ini tidak banyak terjadi.
Untuk perjanjian pra-nikah yang dilakukan, umumnya adalah mengenai masalah harta. Setelah harta, sebagian orang membuat perjanjian pra-nikah untuk menegaskan hak dan kewajiban pasangan yang cerai mengenai hak pengasuhan anak.
Berikut ini adalah kasus dimana perjanjian pra-nikah bisa menjadi pilihan manakala pihak yang akan menikah ternyata salah atunya adalah non muslim yang masuk Islam karena akan menikah secara Islam. Atau masuk Islam sebelum perkawinan, setelah itu menjalani akad nikah secara Islam.
Di dalam perjanjian perkawinan, pihak yang tadinya masuk Islam, ternyata dalam perjalanan kemudian keluar dari Islam, dan kembali lagi ke agamanya sehingga pihak pasangannya menjadi keberatan dan akhirnya terjadi perceraian. Perceraian ini tidak akan membawa masalah manakala ada kesepakatan antara para pihak soal harta dan pengasuhan anak selanjutnya.
Namun akan terjadi masalah kalau terjadi sengketa atau tidak ada kata sepakat soal harta atau pengasuhan anak. Di dalam kasus yang terjadi di sebuah pengadilan agama di Jakarta ini kasusnya adalah suami beragama Islam, istrinya semula beragama X dan masuk Islam.
Di dalam perkawinan yang berjalan mulus selama belasan tahun itu dilahirkan 2 anak yang saat itu berumur masing-masing 9 dan 11 tahun. Pada saat itu keduanya sering cekcok. Kadang-kadang intensitas pertengkaran ini makin kuat dan tinggi. Bahkan suatu ketika si istri kabur dari rumah. Ketika si istri kabur, suami mendapati barang-barang pribadi istrinya yang tertinggal, di antaranya adalah KTP atas nama istrinya, dan paspor atas nama istri dan anak-anaknya. Juga si suami menemukan sebuah alat beribadah agama yang dianut semula oleh si istri. Rupanya masalah ini adalah rahasia si istri yang selama ini disembunyikan si istri.
Dari sini kemudian si suami merasa kuat dugaannya bahwa sebenarnya si istri sudah kembali ke agamanya semula. Berarti, menurutnya, si sitri sudah keluar dari komitmennya sebagai istri seorang muslim. Sementara itu, saat kabur, si istri mengajukan permohonan gugat cerai dengan alasan bahwa perkawinan mereka tidak akan menjadi baik kalau diteruskan.
Kepada pengadilan si istri mengadukan bahwa si suami sering melakukan penganiayaan.
Nah, pada saat itulah si suami mengajukan sanggahan bahwa si istri tidak lagi mengikuti agamanya lagi sesuai syariah Islam, dengan mengajukan bukti-bukti KTP, paspor dan peralatan ibadah. Rupanya tanpa sepengetahuan suami, si istri membuat KTP aspal dan paspor dengan agama non muslim. Atas hal ini si suami juga khawatir jika anak-anaknya dibawa ke luar negeri dengan membuat pasopr secara diam-diam.
Selain itu dalam proses persidangan, hakim juga memanggil anak-anak mereka untuk memberikan kesaksian. Salah satu keterangan anak-anaknya adalah bahwa si ibu sering mengajarkan agama ibunya yang semula, yaitu agama non Islam, kepada anak-anaknya jika ayahnya tidak ada di rumah.
Di dalam kasus ini kedua belah pihak tidak mempermasalahkan harta mereka. Yang mereka permasalahkan justru adalah masalah pengasuhan anak-anak mereka dengan tujuan membawa anak-anak itu semua dan mengikuti agamanya.
Menurut keterangan panitera yang tidak mau disebutkan namanya, dalam kasus seperti ini biasanya hakim memutuskan bahwa pihak yang keluar dari agama Islam tidak diberikan hak untuk mengasuh anak-anaknya.
Betul juga akhirnya hakim pengadilan agama itu akhirnya menjatuhkan putusan bahwa yang diberikan hak untuk mengasuh anak adalah yang masih Islam, yaitu si suami. Tetapi, sisi baiknya, si istri menerima putusan hakim itu dengan baik tanpa ada keberatan sama sekali.
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa perjanjian pra-nikah merupakan salah satu pilihan yang baik untuk dipertimbangkan sebelum menikah jika pasangan muslim, yang salah satunya mualaf (baru masuk Islam) karena akan menikah. Sehingga jika pihak yang mualaf itu kemudian murtad maka keduanya tidak perlu berlama-lama lagi menjalani proses peradilan yang melelahkan. Proses perceraian dengan disertai sengketa malah harta dan atau hak pengasuhan anak, seringkali malah menyusahkan semuanya, termasuk anak-anaknya. Dengan perjanjian pra-nikah ini nantinya hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak akan diatur, bahkan jika terjadi perceraian sekalipun.
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Kirim Komentar