Udin Narsudin
Bank BTN Lebih Simpel
Dr. Udin Narsudin, S.H., M.Hum.
Notaris, Dosen Magister Kenotariaatan
Keterangan ahli waris merupakan salah satu dokumen yang menjadi referensi atau alat bukti dalam melakukan pembagian harta peninggalan untuk ahli waris. Dari keterangan ini akan dapat diketahui siapa saja yang berhak atas warisan atau harta peninggalan pewaris.
Keterangan ahli waris di Indonesia sampai saat ini pengaturannya masih pluralistik karena keterangan ahli waris didasarkan pada peraturan yang berbeda berdasarkan golongan penduduk di Indonesia yang bermacam-macam. Akibatnya sampai kini keterangan ahli waris masih belum seragam sehingga tidak mencerminkan unsur kepastian hukum yang diamanatkan konsep negara hukum.
Selain itu di dalam praktek, pembuatan surat keterangan waris pun tidak jelas. Tidak sedikit, pembuatan konsep surat keterangan waris itu tidak memenuhi syarat formal maupun syarat material sebagai akta untuk pembuktian hukum. Sehingga bila ditilik dengan cermat, bisa jadi keterangan ahli waris yang dimiliki seseorang di antara kita ternyata dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang. Dengan demikian produk keterangan ahli waris seperti ini berpotensi masalah.
Medianotaris.com mewawancarai Udin Narsudin yang melakukan penelitian masalah ini dengan hasil rekomendasi yang singkat dan lugas, yaitu “keterangan ahli waris seharusnya dibuat oleh notaris.” Penelitiannya itu merupakan bagian tugas akhirnya untuk memperoleh gelar doktor ilmu hukum tahun 2012 di Fakultas Hukum Universitas Pajajaran, Bandung.
Medianotaris.com : apa yang membuat Anda meneliti masalah ini atau apa yang terjadi di dalam praktek?
Udin Narsudin : sebelumnya saya jelaskan bahwa surat keterangan ahli waris merupakan alat bukti yang menunjukkan siapa-siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dari seseorang yang meninggal dunia, atau yang berhak atas harta warisan dari pewaris yang meninggal dunia.
Keterangan ahli waris sampai saat ini tidak diatur secara memadai, baik dari sudut statusnya apakah sebagai akta otentik atau di bawah tangan, siapa atau lembaga apa yang berwenang membuat keterangan ahli waris, dan juga mengenai kekuatan mengikatnya.
Yang menarik saya untuk meneliti adalah karena karena aturan yang mengatur soal perkawinan, warisan dan sejenisnya masih berdasarkan aturan masing-masing golongan penduduk yang berbeda-beda, akhirnya mengakibatkan adanya pengaturan yang berbeda terhadap masalah keterangan ahli waris ini. Salah satu contohnya adalah seperti pada Surat Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Agraria, Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster), tanggal 20 Desember 1969 Nomor Dpt/ 12/ 63/ 12/ 69 tentang Surat Keterangan Warisan dan Pembuktian Kewarganegaraan.
Selain itu juga peraturan yang mendasari aturan mengenai hal ini adalah pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Menurut kedua peraturan ini, golongan Eropa, Cina/ Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab beragama Islam selama ini surat keterangan warisnya dibuatkan oleh notaris dalam bentuk Surat Keterangan. Sedangkan untuk golongan Timur Asing yang bukan Cina atau bukan Tionghoa surat keterangan warisnya dibuatkan oleh Balai Harta peninggalan. Sementara itu untuk golongan pribumi surat keterangan warisnya dibuat di bawah tangan dan diberi meterai oleh para ahli waris sendiri dan diketahui atau dibenarkan Lurah dan Camat sesuai dengan tempat tinggal terakhir.
Dari sini kelihatan bahwa hukum waris Indonesia terjadi pluralisme yang tidak mudah diunifikasikan dan diberlakukan secara penuh di seluruh Indonesia. Namun walau dalam kondisi hukum yang plural, hal ini tidak menutup kemungkinan pembuatan keterangan ahli waris oleh notaris saja. Sehingga walau kondisi hukum warisnya plural, maka pembuatan keterangan ahli warisnya tidak harus oleh intitusi yang berbeda.
Selain masalah pluralisme, problem keterangan ahli waris juga adalah bahwa keterangan ahli waris sampai saat ini tidak diatur secara memadai, baik dari sudut statusnya apakah sebagai akta otentik atau di bawah tangan, siapa atau lembaga apa yang berwenang membuat keterangan ahli waris, dan juga mengenai kekuatan mengikatnya.
Medianotaris.com : lantas sejauh manakah dasar hukum kewenangan masing-masing institusi atau pejabat tersebut sehingga diberikan kewenangan membuat keterangan ahli waris di dalam praktek?
Udin Narsudin : untuk keterangan ahli waris yang dibuat oleh ”notaris”, dasar hukum kewenangannya adalah berasal dari pasal 15 UUJN. Tapi (sayangnya) ketentuan UUJN ini tidak secara khusus mengatur wewenangan pembuatan keterangan ahli waris oleh notaris. Sementara itu notaris juga memiliki kewenangan lain yang diatur dalam UUJN pasal 15 ayat (3) yang menyebutkan bahwa notaris memiliki kewenangan lain yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Untuk memperjelas kewenangan menurut pasal 15 ayat (3) dalam hubunganya dengan kewenangan membuat keterangan ahli waris maka harus dilihat kaitannya dengan pengertian peraturan perundang-undangan.
Menurut UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 1 butir 2, yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” adalah semua peraturan yang yang bersifat mengikat secara umum yang dilakukan pemerintah bersama dengan DPR atau DPRD. Selain itu yang termasuk peraturan perundang-undangan adalah semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik pejabat di tingkat pusat maupun daerah yang juga bersifat secara umum.
Selain itu sandaran hukum kewenangan notaris membuat keterangan ahli waris adalah UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut UU ini di dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan peraturan Per-UU-an adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Maria Farida Indrati Suprapto dalam bukunya berjudul Ilmu Perundang-undangan : Jenis, Fungsi dan Materi Muatan yang diterbitkan tahun 2007 (Kanisius, Yogyakarta), peraturan perundang-undangan memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan keputusan tertulis, dibentuk lembaga negara atau pejabat berwenang, dan mengikat umum.
Selain notaris, pejabat lain dalam praktek yang juga terlibat dalam pembuatan keterangan ahli waris adalah “kepala desa”/ “kepala kelurahan” atau “kepala kecamatan”.
Berdasarkan peraturan, termasuk dalam hal ini adalah UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan Kepala Desa, Lurah atau Camat dalam membuat keterangan ahli waris ternyata tidak ditemukan. Apalagi perbuatan atau tindakan mereka yang berupa mengetahui, membenarkan dan menandatangani keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris
Mengenai kewenangan pejabat desa, kelurahan atau kecamatan dalam proses pembuatan keterangan ahli waris seharusnya menjadi perhatian yang serius karena dalam praktek sehari-hari keterangan ahli waris yang dibuat masyarakat menyertakan tandatangan mereka, padahal aturan kewenangan mereka tidak ada menurut UU Pemerintahan Daerah. Secara singkat bisa dikatakan, perbuatan atau tindakan Camat, Lurah dan Kepala Desa untuk mengetahui, membenarkan dan menandatangani keterangan ahli waris adalah di luar wewenang mereka berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004.
Lantas bagaimanakah dengan “pengadilan”? Untuk melihat ada tidaknya kewenangan pengadilan negeri maupun pengadilan agama dalam proses pembuatan keterangan ahli waris sebaiknya kita melihat Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 8 Juli 1993, Nomor 26/ TUADA-AG/ III-UM/ VII / 1993. Surat edaran ini ternyata melarang pengadilan negeri maupun pengadilan agama untuk memberikan penetapan/ fatwa waris. Artinya pengadilan ini tidak ada wewenang membuat atau mengeluarkan keterangan ahli waris.
Selain itu Balai Harta Peninggalan juga merupakan salah satu instansi yang terlibat dalam pembuatan keterangan ahli waris untuk golongan Timur Asing. Dalam penelitian, dasar hukum kewenangan lembaga ini dalam membuat keterangan ahli warisla ternyata tidak konsisten dan berbeda-beda.
Balai Harta Peninggalan (BHP) yang merupakan lembaga pemerintahan di bawah Kementrerian Hukum dan HAM juga tidak tepat wewenangnya untuk mengeluarkan keterangan ahli waris. Lembaga BHP merupakan badan atau pejabat tatausaha negara tidak tepat bila mengeluarkan keterangan ahli waris yang merupakan hak keperdataan seseorang.
Medianotaris.com : lantas bagaimana caranya untuk itu, padahal hukum kekeluargaan kita bermacam-macam?
Udin Narsudin : walau kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan memiliki berbagai hukum waris yang plural, hal ini tidak perlu menjadi halangan bagi notaris dalam membuat keterangan ahli waris yang uniform atau seragam untuk semua golongan WNI. Kewenangan notaris untuk ini adalah sesuai kewenangan notaris yang diberikan UU dalam membuat akta otentik seperti yang termuat di dalam UUJN pasal 15 ayat (1). Untuk itu pembuatan keterangan ahli warisnya bisa dilakukan notaris sepanjang menyangkut formalitas pembuatannya saja dalam bentuk akta otentik. Sedangkan hukum warisnya sendiri adalah sesuai keinginan para ahli waris.
Dari sisi kebijakan negara, untuk menciptakan unifikasi hukum waris nasional –khususnya di bidang keterangan ahli waris, sebaiknya negara memberikan kebijakan untuk menegaskan bahwa UUJN adalah dasar hukum pembuatan keterangan ahli waris bagi seluruh Warga Negara Indonesia. Selanjutnya negara diharapkan melakukan amandemen terhadap UUJN yang menempatkan notaris sebagai satu-satunya institusi yang berwenang membuat keterangan ahli waris. Atau pemerintah dan DPR diharapkan membuat UU yang khusus mengatur mengenai notaris sebagai pejabat pembuat keterangan ahli waris untuk semua golongan warga negara. Atau, dalam jangka pendek, masalah pluralisme keterangan ahli waris ini hendaknya bisa diatasi melalui pemberdayaan putusan hakim.
Saya melihat bahwa RUU JN yang akhirnya disahkan tahun 2004 itu ternyata salah satu pasalnya mengatur surat keterangan ahli waris. Di dalam RUU JUN waktu itu dicantumkan ketentuan RUU yang berbunyi antara lain : “...bahwa surat keterangan ahli waris dibuat oleh notaris.” Heran, mengapa draf ketentuan ini dihapus.
Medianotaris.com : di dalam praktek, sejauh manakah Anda menemui problem dalam kaitan keterangan ahli waris ini?
Udin Narsudin : saya menemukan contoh di Kota Tangerang Selatan di mana keterangan ahli waris yang berbeda antara satu bank dengan bank lainnya. Saya menemukan bahwa syarat pembuatan keterangan ahli dari Bank BTN lebih simpel dari Bank Danamon.
Menurut Bank BTN, untuk warganegara golongan pribumi, pembuatan keterangan ahli waris cukup dengan tandatangan kepala kelurahan. Sedangkan untuk golongan keturunan Cina cukup dibuat dihadapan notaris dengan akta notaris.
Sementara itu Bank Danamon mensyaratkan ketentuan yang “aneh” bahwa keterangan ahli waris untuk WNI keturunan Cina dibuat di hadapan notaris, plus legalisir pengadilan negeri. Syarat ini diberlakukan oleh Danamon dengan alasan bahwa WNI keturunan Cina ini tunduk pada hukum perdata barat.
Sudah barang tentu persyaratan yang berbeda ini akan merepotkan. Tambahan persyaratan legalisir dari pengadilan itu berarti “tambahan” biaya tersendiri yang belum tentu sedikit. Dengan kondisi praktek di peradilan kita sekarang ini kita bisa menghadapi segala resiko berkisar soal biaya yang tidak diduga.
Saya juga merasa bahwa akibat tidak adanya aturan yang jelas dan unifikasi, pasti merugikan. Di lapangan, saya menemukan fenomena ini. Di dalam praktek, golongan WNI keturunan Cina akhirnya dipersulit ketika membuat surat keterangan waris, walau yang bersangkutan lahir di Indonesia, dan bahkan sudah beragama Islam pula. Mereka ini kesulitan ketika diminta persyaratan macam-macam. Sementara itu untuk WNI asli sendiri tidak kesulitan membuat surat keterangan ahli waris.
Medianotaris.com : apa usulan Anda untuk mengatasi persoalan ini dengan tanpa menafikan kondisi masyarakat Indonesia yang plural dengan aturan hukum yang kekeluargaan yang plural juga? :
Udin Narsudin : dari sini sebaiknya negara menetapkan saja kewenangan membuat akta atau surat keterangan ahli waris untuk diserahkan kepada notaris melalui Undang-undang. Bukan kepada pejabat lain. Sehingga nantinya syarat formal pembuatan keterangan ahli waris dibuat oleh pejabat yang cukup kompentensinya, yaitu seorang pejabat pembuat akta otentik. Selain itu secara materiil produk akta yang dibuat notaris sangat bisa dipertanggungjawabkan sesuai pendidikannya. Akhirnya ini semua tujuannya agar tercipta keseragaman dan kepastian hukum dalam pembuatan surat keterangan ahli waris.
Dengan diberikannya kewenangan kepada notaris, selain kewenangannya dijamin UU, juga penelitian dokumen-dokumen pendukung dalam proses pembuatan surat keterangan itu dilakukan dengan seksama dan teliti dari sudut hukum.
Hal ini berbeda jika surat keterangan ahli waris yang dibuat di bawah tangan dan ditandatangani lurah/ kepala desa atau camat. Cara ini mengandung kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah tidak adanya pengecekan daftar wasiat. Pengecekan daftar wasiat merupakan proses penting yang mesti dilakukan dalam proses pewarisan agar tidak terjadi masalah.
Kelemahan lain dari surat keterangan ahli waris yang dibuat di bawah tangan adalah bahwa pejabat yang ikut menandatangani surat tersebut –lurah/ kepala desa atau camat- belum tentu tahu pasti ahli waris yang tertulis itu adalah yang benar atau tidak. Ini bisa terjadi ketika para pihak yang membuat surat tersebut tidak melampirkan data-data pendukung.
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Kirim Komentar