DARI DISERTASI DOKTOR IKHSAN LUBIS
medianotaris.com, Jakarta- (K. Lukie Nugroho, SH) -Perkembangan teknologi digital telah memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia, dalam hal ini paradigma cara bekerja notaris, termasuk dalam pembuatan akta dengan konsep digital. Dalam praktek ke depan notaris akan bekerja dengan cara digital : tanda tangan digital, stempel digital, dan aktanya pun mungkin akan menjadi digital. Bahkan nantinya bisa jadi proses penandatangan aktanya pun digital dalam arti proses penandatanganan tanpa perlu berhadapan secara fisik. Bisakah? Tentunya waktunyalah yang akan menjawab, dan sepertinya akan terus didorong ke arah sana untuk mengikuti perkembangan zaman. Setidaknya di dalam pandangan Ikhsan konsep ini suatu saat bisa dijalankan.
Notaris/ Pejabat Pembuat Akta Tanah Ikhsan Lubis, SH, SpN, MKn di almamaternya, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan pekan lalu (23/4/24) mempertahankan disertasinya di hadapan para penguji yang terdiri atas Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H.,MS.,C.N., Prof.Dr. Budiman Ginting, S.H.,M.Hum. , dan Dr. Rudy Haposan Siahaan, S.H., Sp1., M.Kn serta para Promotor dan co-promotor yang terdiri atas Prof. Dr. Tarsisius Murwadji, S.H., M.H, Prof. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum dan Dr. Detania Sukarja, S.H., LL.M.
Adapun judul disertasinya adalah PARADIGMA BARU PELAKSANAAN TUGAS JABATAN NOTARIS DALAM KERANGKA PENGEMBANGAN KONSEP CYBER NOTARY DI INDONESIA. Atas hasil penemuan hukum dalam penelitiannya yang dituangkandalam disertasinya Ikhsan Lubis mendapatkan penghargaan cumlaude.
Sudah bisa diperkirakan dari topik atau judulnya, Ikhsan yang belakangan ini dikenal sebagai Ketua Pengurus Wilayah Sumatera Utara, Ikatan Notaris Indonesia ini, disertasinya membahas segala kemungkinan tugas dan jabatan notaris yang bisa dicita-citakan untuk menjawab kemajuan teknologi informasi, khususnya di bidang kenotariatan.
Paradigma tugas dan jabatan notaris, seperti kita ketahui selama ini adalah menerapkan hukum yang berlaku ke dalam akta sesuai keinginan atau kepentingan para pihak atau para penghadap. Dalam proses ini para pihak secara fisik menghadap notaris. Notaris mengaji maksud dan tujuan para pihak, kemudian menganalisa dari segi hukum yang berlaku, serta tidak lupa memberikan penyuluhan hukum.
Jika kemudian semua proses, landasan hukum dan semua persyaratan sudah sesuai aturan yang berlaku maka ditandatanganilah akta itu, dan berlaku sebagai produk akta otentik. Paradigma tugas dan jabatan notaris seperti ini memang sesuai sistem hukum yang berlaku di Indonesia, namun kini dirasa lamban dan tidak mengakomodir proses kegiatan masyarakat yang cepat sekali. Proses pembuatan akta seperti ini yang mempertahankan konsep lama sesuai sistem hukum Indonesia ini oleh sebagian pihak disebut sebagai “tradisional dan lama” (traditional notary).
NOTARIS TETAP TERIKAT BENTUK DAN TATACARA PEMBUATAN AKTA SESUAI UU
Nah, sekarang bagaimana dengan cyber-notary itu sendiri?
Menurut Ikhsan cyber notary sesungguhnya merupakan suatu istilah yang menunjukkan cara bekerjanya notaris dengan memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana untuk mendukung pelaksanaan tugas jabatannya.
Teknologi Digital hanyalah sebagai sarana dalam Cyber Notary, dan cara bekerjanya notaris tetap terikat kepada bentuk dan tata cara pembuatan akta sesuai pasal 38 UUJN-Perubahan.
Jenis Akta juga sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 7 UUJN-Perubahan.
Teknologi digital merupakan suatu keniscayaan yang telah dan akan terus memengaruhi pelaksanaan tugas jabatan notaris, termasuk dalam melaksanakan fungsi verlijden Notaris yang berhubungan dengan cara merumuskan maksud dan kehendak para penghadap, juga membacakan dan menandatangani akta.
Menghadap notaris dan menandatangani akta dengan memanfaatkan teknologi digital sebagai sarana dapat diperkenalkan menurut hukum sepanjang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Menghadap secara virtual, katanya, merupakan suatu kenyataan hukum sebagai suatu peristiwa hukum (recht feit) dan hasilnya sebagai suatu fakta hukum (rech factum) sesuai UU no. 1 Tahun 2024 UU ITE mengakui bukti elektronik.
Perubahan yang bersifat revolusioner itulah yang dikenal sebagai paradigma baru.
Menurut Ikhsan paradigma baru pelaksanaan tugas jabatan notaris diharapkan dapat mengubah cara pandang terkait penerapan asas tabellionis officium fideliter exercebo (notaris harus bekerja secara tradisional atau konvensional). Penerapan Asas Tabellionis Officium Fideliter Exercebo harus diredefinisi dengan memberikan makna baru dengan melihat notaris dengan keluhuran harkat martabatnya sebagai jabatan mulia (officium nobile) dan sekaligus sebagai orang yang dapat dipercaya (officium trust).
Penerapan asas tabellionis officium fideliter exercebo merupakan suatu konsep yang merujuk pada integritas jabatan notaris yang luhur dan bermartabat sebagai pejabat umum yang mendapatkan kewenangan atribusi dari undang-undang untuk menegakkan hukum negara di bidang hukum keperdataan.
Menurut Ikhsan asas tabellionis officium fideliter exercebo tidak boleh dimaknai sebagai suatu prinsip cara bekerjanya notaris secara tradisional dan/atau konvensional dengan alasan sebelumnya juga evolusi cara bekerjanya notaris dimulai tahapan sangat sederhana memberi tanda di atas batu, menulis di atas kulit kayu atau kulit binatang. Kemudian di atas kertas, menulis dengan tetesan tinta, tulisan pulpen, tahapan selanjutnya diketik manual, komputer dan kesemuanya tidaklah mengganggu penerapan asas tabellionis officium fideliter exercebo.
Ikhsan yang saat ini mengajar di berbagai perguruan tinggi di Sumatera Utara mencoba membuat landasan hukum keberlakuan konsep cyber-notary yang sampai saat ini masih terbilang kontroversial. Mengapa masih kontroversial? Seperti kita ketahui sistem hukum kita masih menganut pola lama dalam pembuatan akta notaris, yaitu penandatanganan akta dilakukan dengan cara berhadapan secara fisik antara para penghadap dan notaris. Sampai saat ini sistem tersebut berlaku, dan dasar hukumnya juga masih memberlakukan begitu. Artinya, kalau penandatangan akta tidak dilakukan dengan cara berhadapan secara fisik maka akta notarisnya tidak bisa disebut akta otentik. Malahan salah-salah kalau ada pihak yang “iseng” , baik itu pihak ketiga atau oknum aparat maka para pihak yang bertandatangan di akta itu, khususnya si notaris, bisa diperkarakan.
Saat ini Ikhsan juga berprofesi sebagai staf pengajar di bidang hukum kenotariatan, Prodi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), Fakultas Hukum Hukum Uiversitas Medan Area (UMA), Fakultas Hukum Universitas Prima Indonesia (UNPRI) dan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU).
Pendekatan holistik diperlukan untuk mengintegrasikan aspek hukum, teknologi, sosial, budaya, dan etika sejalan dengan UU No. 1 Tahun 2024 sebagai perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 yang telah memberikan respons positif terhadap perkembangan teknologi digital yang dapat menciptakan kerangka hukum inklusif yang mencakup ketegasan, kekuatan hukum, jaminan kepastian hukum dan perlindungan data privasi dalam pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik di Indonesia.
Perubahan kedua dari UU No. 1 Tahun 2024 sebagai langkah revolusioner telah menciptakan paradigma baru dengan memberikan pengakuan keberlakuan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai realitas digital setara dengan dokumen konvensional yang dihargai alat bukti sah menurut hukum, vide: Pasal 5 (Alat Bukti Elektronik), Pasal 13 (Sertifikat Elektronik) dan Pasal 17 (Taransaksi Elektronik). Selain itu, Penambahan Pasal 40A UU ITE juga telah mengatur keterlibatan pemerintah ke sistem elektronik guna menciptakan ekosistem digital yang aman, adil, akuntabel dan inovatif (An electronic system to create a safe, fair, accountable, and innovative digital eco-system).
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Kirim Komentar