Dr. Maqdir Ismail, S.H., LLM.

Pertengahan Mei ini Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menjatuhkan putusan sela yang menghebohkan. Putusan sela itu memerintahkan penundaan pelantikan Gubernur Bengkulu pengganti Agusrin M. Najamuddin kepada Presiden RI, Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Gubernur Bengkulu Junaidi.
Putusan ini dinilai tidak wajar karena dijatuhkan pada hari yang sama dengan saat gugatan disampaikan. Agusrin sendiri diberhentikan sebagai gubernur setelah dinyatakan bersalah sesuai putusan Kasasi Mahkamah Agung. Sementara itu pemerintah mengangkat Juaidi Hamsyah sebagai pengganti.
Dalam kasus-kasus tertentu putusan sela bisa menimbulkan "kehebohan" karena oleh sementara pihak dinilai ada proses yang "tidak fair". Advokat senior Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M. menyatakan bahwa putusan sela adalah hal yang wajar dalam proses peradilan perdata, pidana, atau peradilan lainnya. Berikut ini padangannya mengenai apa itu "putusan sela".

Arti "putusan sela", menurutnya, adalah putusan yang dijatuhkan hakim sebelum putusan hakim. Putusan sela dijatuhkan untuk mencegah suatu keadaan yang akan berakibat buruk bila putusan sela itu tidak dijatuhkan. Misalnya, dalam kasus penundaan pengangkatan kepala daerah, putusan sela itu dijatuhkan karena adanya kesalahan dasar hukum yang diambil untuk memberhentikan pejabat lama yang diberhentikan. Nah, kesalahan dasar hukum itulah yang dikhawatirkan terjadi keadaan di mana jabatan kepala daerah yang lama (keburu) lepas, sementara pejabat baru belum diangkat. Atau pejabat yang baru sudah diangkat, namun pejabat yang lama masih belum pasti diberhentikan.
Hakim dalam menjatuhkan putusan sela tentu ada alasannya. misalnya dalam perkara Agusrin, putusan perkara Agusrin sudah dianggap berkekuatan hukum tetap. Jadi karena sudah berkekuatan hukum tetap maka tidak diperlukan persetujuan DPR untuk memberhentikan Agusrin. Padahal kita harus kembali ke sebelumnya yaitu ke ayat sebelumn ayat 2 itu bahwa yang diberhentikan tanpa persetujuan DPR adalah kalau orang itu minimal ancaman hukumnya 4 tahun.
Nah, sementara dalam UU Korupsi, minimal ancaman hukuman adalah dari 1 tahun sampai 3 tahun. Jadi kategori ini "tidak masuk". "Ketidak-klopan" ini merupakan ketidakcermatan ketika Presiden membuat Keppres 40 tentang Pemerintahan Daerah, dan tentang Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah. Jadi dengan demikian keputusan yang salah tidak bisa ditolerir.
Untuk mencegah agar putusan tidak cermat ini dilaksanakan dan berakibat buruk terhadap orang, putusan sela itulah kemudian muncul. Setelah diputuskan hakim, putusan sela tidak bisa dibanding. Putusan sela hanya bisa dibanding bersama-sama pokok perkara nanti. Kecuali putusan sela itu mengenai kewenangan absolut.
Jika kemudian putusan sela menimbulkan ketidakpuasan. Misalnya sampai muncul adanya pihak yang tidak puas terus mengadu ke Komisi Yudisial maka ini merupakan resiko. Tapi sekali lagi, dalam kasus Agusrin ini merupakan cermin buruk aparat birokrat.
Dalam kasus perdata, putusan sela biasa terjadi, misalnya menyangkut sengketa pertanahan. Dalam kasus eksekusi, bisa terjadi putusan sela dijatuhkan hakim mengingat pertimbangan-pertimbangan tertentu. Misalnya juga dalam masalah pembatalan sertifikat tanah di PTUN, jika dikhawatirkan merugikan oranglain, bisa saja hakim menjatuhkan putusan sela.
Putusan sela dijatuhkan atau tidak, tergantung pada keyakinan hakim. di dalam perkara pidana putusan sela hampir selalu diambil kalau ada eksepsi. Kalau ada eksepsi selalu akan dikabulkan, dan biasanya di dalam perkara perdata dan TUN, putusan selalu dijatuhkan untuk "mencegah suatu keadaan".
Dalam putusan sela juga tidak jarang memunculkan spekulasi dan kadang-kadang dihubung-hubungkan dengan "ada sesuatu di baliknya". Padahal itu belum tentu, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya "permainan".
Di dalam proses peradilan, putusan sela ini dimohon oleh para pihak. Permohonan putusan sela merupakan hak lumrah di dalam proses peradilan, dan tidak begitu menjadi sebuah persolan. Sebab, walau ada putusan sela sebelumnya, tetap saja proses peradilan akan dilanjutkan dengan pemeriksaan perkara selanjutnya. Pemeriksaan selanjutnya itu merupakan pemeriksaan materi perkara.
Putusan sela bisa diajukan permohonannya pada saat gugatan disampaikan, seperti putusan provisi. Permohonan putusan sela ini kemudian minta diputus dulu sebelum perkaranya diperiksa. Ini umum dilakukan. Permintaan ini dilakukan karena dikhawatirkan berakibat buruk, bila putusan sela itu tidak dilakukan.
Pada perkara perdata, para pihak bisa mengajukan putusan provisi sebelum perkara gugatan dimulai, dan untuk ini hakim akan menjatuhkan putusan sela. Di dalam gugatan, seseorang atau pengggugat bisa mengajukan gugatan bersama-sama dengan permohonan putusan provisi. Provisi merupakan permohonan dari penggugat, sedangkan putusannya oleh hakim disebut sebagai putusan sela. Jika ada salah satu pihak yang melakukan tindakan-tindakan merugikan maka akan diambil putusan sela.
Putusan sela ini bisa dimintakan para pihak kapan saja. Bisa di awal atau tengah-tengah ketika memeriksa perkara yang sudah dan sedang berjalan. Di dalam perkara pidana, putusan sela juga bisa dijatuhkan hakim. Umumnya hal ini diajukan dalam eksepsi. Misalnya ada orang diadili, dan sesudah dakwaan dibacakan, maka diajukanlah eksepsi. Eksepsi itu ditanggapi kejaksaan atau penuntut umum, lantas pengadilan atau hakim menjatuhkan putusan sela. Putusan ini atas dasar permintaan terdakwa, dan atas dasar jawaban jaksa terhadap terhadap surat dakwaan. Nah, di sini perkara bisa teruskan atau dihentikan kalau dalam perkara pidana ini dakwaannya batal demi hukum.
Walaupun putusan sela merupakan hal yang biasa, dan banyak dimohonkan, tapi dalam prakteknya jarang sekali diterima hakim. Jika ada putusan sela yang dijatuhkan hakim di awal sidang, lantas kemudian ternyata putusan sela itu salah, maka putusan sela itu diperbaiki di akhir putusan. Di dalam putusan terakhir nanti putusan sela ini akan diputus untuk dicabut atau dibatalkan dan hasil pemeriksaannya seperti apa.
Bayangkan nanti di dalam proses pemeriksaan Agusrin ternyata bahwa putusan pemberhentian Agusrin tidak sah, sementara ada orang lain yang sudah diangkat sebagai gubernur maka akan terjadi masalah baru. Nanti ada 2 gubernur, ada 2 masalah hukum yang mem[persulit keadaan.
Dalam kasus Agusrin, penggunaan pasal di dalam Keppres itulah yang salah. Kalau pemerintah, tidak buru-buru. Mereka proses dulu dari awal melalui DPRD sehingga bisa diputuskan bahwa orang tersebut diberhentikan DPRD karena terlibat korupsi. Dengan prosedur lewat DPRD ini akan menghindarkan masalah.
Selama ini menurut saya, belum ada putusan sela yang akhirnya menjadi masalah. Seperti saya katakan, sepengetahuan saya putusan sela dijatuhkan karena memang ada alasannya. Sementara itu putusan sela ini tidak ada pengaruhnya bila dipergunakan untuk tujuan mengulur-ulur waktu, karena sekarang ini perkara peradilan tingkat pertama maksimal harus diputus dalam waktu 6 bulan. Putusan sela ini lebih bersifat menunda saja.
Kembali ke dalam perkara Agusrin, bila Keppres itu dicabut Presiden, dan kemudian dilakukan lagi proses pemeriksaan untuk memberhentikan Agusrin sesuai UU Pemerintahan Daerah , mestinya ini bisa dilakukan.
Tanpa mencampuri persoalan politiknya, sebaiknya pemerintahan dibiarkan berjalan dulu seperti biasa pemerintahan dilakukan oleh wakil gubernur atau sebagai pelaksana tugas. Nah, proses hukum dalam rangka untuk pemberhentiannya dijalankan, termasuk juga meminta persetujuan DPRD.
Jadi, pejabat yang baru akan menjabat, diharapkan bersabar dulu. Juga Menteri Dalam Negeri juga mesti bersabar karena proses hukum ini mesti dilakukan. Ini harus diikuti agar nuansa politik tidak muncul. Bukankah pemberhentian itu ada syarat-syaratnya yang harus dilalui dulu. Tidak serta-merta orang yang dijatuhi hukuman lantas diberhentikan, seperti logika yang diambil Denny Indrayana. Kecuali kalau memang pasal itu yang digunakan untuk memberhentikan dia.
Sementara itu Menteri Dalam Negeri menggunakan pasal 30 ayat 2 UU 32 tahun 2004, dan mengatakan bahwa kepala daerah diberhentikan Presiden tanpa usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud sebagaimana ayat 1 menurut putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Tetapi, ayat 1 ini ada syaratnya. "Syaratnya" itulah yang tidak dipenuhi.
Di pasal 30 ayat 1 "Kepala daerah/ wakil dierhentikan presiden tanpa memperhatikan usulan DPRD jika melakukan tindak pidana kejahatan yang dituntut dengan ancaman hukum paling singkat 5 tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan.
Nah, kalau perkara korupsi kalau kena pasal 2, ancaman hukumannya minimal 4 tahun. Bukan 5 tahun. Jadi tidak memenuhi syarat ini. Kalau pasal ini yang dipakai untuk memberhentikan Agusrin, ya salah. Jadi, secara formal, Keppresnya yang salah di dalam menggunakan pasal.
Kontroversi inilah yang, boleh jadi, menjadikan pertimbangan hakim untuk menjatuhkan putusan sela agar tidak keburu diterbitkan kebijakan yang menyebabkan kekisruhan. Misalnya, satu jabatan disandang oleh 2 orang, karena pejabat lama masih belum bisa diberhentikan. Sementara itu pejabat penggantinya sudah buru-buru dilantik.



Komentar Untuk Berita Ini (1)

  • charisma sitorus 14 Desember 2012 | 04:24

    Saya adalah korban putusan sela pengadilan negeri jember, pihak tergugat tidak pernah meninta putusan sela, tetapi hakim ketua majelis memutuskan putusan sela karena saya advokat dari KAI, semoga tulisan pak Maqdir Ismail membuka cakrawala baru bagi hakim

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas