Oleh : H. Ikhsan Lubis, SH,SpN
Ketua Pengurus Wilayah Sumatera Utara, Ikatan Notaris Indonesia (INI)



Tindak Pidana Terorisme dan aktivitas yang mendukung terjadinya segala macam bentuk aksi terorisme merupakan salah satu bentuk ancaman yang sangat mengganggu rasa aman warga negara. Pada akhirnya juga akan bisa mengganggu kedaulatan Negara.
Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana ini harus dimulai dari penelusuran sumber pendanaan terorisme yang merupakan unsur terpenting dalam setiap aksi terorisme. Hal ini juga diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang. Selain itu Pemerintah Republik Indonesia juga berkewajiban membuat atau menyelaraskan peraturan perundang-undangan terkait dengan asal usul sumber pendanaan terorisme. Termasuk didalamnya komitmen Pemerintah Republik Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999 (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999) dan yang kemudian diikuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Dengan demikian Pemerintah Republik Indonesia cukup responsif melakukan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme yang disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik penerapan hukum standar internasional sebagaimana dimaksud dalam Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999 (International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999).
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 13 Tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat (Beneficial Ownership) dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, korporasi yang harus melaporkan pemilik manfaat/Beneficial Ownership, sebagai berikut : Korporasi yang harus mendaftarkan pemilik manfaat berdasarkan Pasal 2 ayat 2 Perpres No 13 Tahun 2018 A. Perseroan Terbatas
B. Yayasan
C. Perkumpulan
D. Koperasi
E. Persekutuan Komanditer
F. Persekutuan Firma
G. Bentuk Korporasi Lainnya.
PENDANAAN TERORISME Berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (PPTPPT) sebagaimana diatur dalam BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris. Dalam dan angka 3 peraturan ini disebutkan “setiap orang” adalah orang perseorangan atau korporasi dan angka 4 menyebutkan korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Kemudian dalam angka 5 disebutkan yang dimaksudkan transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Sedangkan angka 6 menegaskan bahwa Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme adalah :
a. Transaksi keuangan dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan untuk melakukan tindak pidana terorisme; atau
b. Transaksi yang melibatkan setiap orang yang berdasarkan daftar terduga teroris dan organisasi teroris. ALAT BUKTI Merujuk ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 UU No. 9 Tahun 2013 secara tegas menyebutkan tentang Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Tidana pendanaan terorisme ialah :
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara
Pidana ;
b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik; dan/atau
c. Dokumen.

Meskipun demikian berdasarkan ketentuan UU No. 9 Tahun 2013 di dalam BAB IV tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 9 menyebutkan : Ayat (1) Pejabat atau pegawai PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, atau Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan berkaitan dengan Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme dalam rangka pelaksanaan tugasnya wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan tersebut. Selanjutnya ditegaskan, pemberian sanksi hukuman dalam Ayat (2) Pejabat atau pegawai PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, atau Setiap Orang yang membocorkan rahasia Dokumen atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Sebagai pengecualian tidak berlakunya kewajiban merahasiakan diatur dalam Ayat (3) yang menyebutkan Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pejabat atau pegawai PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, atau Setiap Orang jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian keberadaan ketentuan Pasal 9 yang mengatur tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme telah memberikan pengecualian kepada Pejabat atau pegawai PPATK, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, atau Setiap Orang yang memperoleh Dokumen atau keterangan berkaitan dengan Transaksi Keuangan Mencurigakan Terkait Pendanaan Terorisme dalam rangka pelaksanaan tugasnya wajib merahasiakan Dokumen atau keterangan jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanan tugas jabatan Notaris sebagai Pejabat Umu juga dikenal ketentuan pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f dari UUJN dapat disimpulkan rumusan hukum yang bersifat imperatif tentang kewajiban yang melekat dalam tugas jabatannya sebagai Notaris dalam rangka merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, terkecuali Undang-undang menentukan lain.
KORPORASI Subyek hukum Korporasi dan/atau Personel Pengendali Korporasi sebagai pelaku Tindak Pidana secara tegas disebutkan berdasarkan ketentuan UU No. 9 Tahun 2013 sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat (1) Dalam hal tindak pidana pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personel Pengendali Korporasi. Selanjutnya untuk jenis perbuatan yang berkaitan dengan maksud dan tujuan pelaku diatur secara terinci dalam Ayat (2) menyebutkan, bahwa Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi jika tindak pidana pendanaan terorisme :
a. Dilakukan atau diperintahkan oleh Personel Pengendali Korporasi;
b. Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah dalam Korporasi; atau
d. Dilakukan oleh Personel Pengendali Korporasi dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporas
ATURAN TEKNIS Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI telah mengeluarkan kebijakan terkait dengan upaya Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang disesuaikan dengan kebutuhan praktek pelaksanaan tugas jabatan Notaris. Notaris berada dibawah Pembinaan dan Pengawasan Kementerian ini. Kebijakan itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (disingkat Permenkumham RI) Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat (TCPPPMPM) yang pada pokoknya berisi aturan yang bersifat teknis tentang tata cara penyampaian keterbukaan informasi pemilik manfaat dari Korporasi atau dikenal dengan istilah Beneficial Ownership (BO). Latar belakang lahirnya Permenkumham RI ini didasarkan sebagai upaya serius (komitmen) dari Pemerintah untuk menegakkan dan menerapkan secara bersungguh-sungguh agar ketentuan yang berkaitan dengan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Sebagaimana diketahui selama ini diduga kuat keberadaan pelaku Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) banyak berlindung dibalik kegiatan usaha yang tampil dalam dalam bentuk Korporasi. Dengan adanya Permenkumham RI Nomor 15 Tahun 2019 yang didalamnya terdapat aturan yang bersifat tehnis diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar hukum (landasan yuridis) yang dipergunakan untuk tindakan pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT). Tindak pidana ini dianggap sebagai kejahatan luar biasa serta semakin berkembang dalam era digitalisasi sekarang ini. Keberadaan dari Permenkumham RI Nomor 15 Tahun 2019 juga merupakan sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Presiden Republik Indonesia (Perpres RI) Nomor : 13 Tahun 2018 Tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT).
BENEFICIAL OWNERSHIP (BO) Selain itu berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi maka keberadaan Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU) pada Kementerian Hukum dan HAM RI adalah instansi yang berwenang dalam menerima informasi terkait pemilik manfaat dari suatu korporasi yang dilaksanakan oleh Notaris terkait dengan keterbukaan informasi pemilik manfaat dari Korporasi/Benificial Ownership (BO). Upaya penegakan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) Guna Mencegah Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) juga diatur secara sporadis dalam beberapa Peraturan Pemerintah yang diantaranya terdapat dalam Permenkumham Nomor 9 Tahun 2017 Tentang Prinsip Mengenali Pengguna Jasa Bagi Notaris dan Permenkumham Nomor 21 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Pengawasan Penerapan Prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi. Dengan demikian Kementerian Hukum dan HAM RI sangat berkepentingan sekali menegakkan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) untuk keperluan ini yang tidak terlepas dengan pelaksanaan tugas-tugas jabatan Notaris yang dihadapannya dibuat Akta pendirian Korporasi sesuai dengan bentuk maupun jenis kegiatan usaha yang dikehendaki oleh Pendiri maupun Pengurus Korporasi. Sehingga bagi kalangan Notaris sangat diharapkan proaktif dan memahami tata cara penyampaian keterbukaan informasi pemilik manfaat dari Korporasi atau dikenal dengan Beneficial Ownership (BO). Beneficial Ownership (BO) atau penerima manfaat adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan Direksi, Dewan Komisaris, Pengurus, Pembina, atau Pengawas pada korporasi. Dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi dan/atau memenuhi kriteria. INFORMASI PEMILIK MANFAAT Sebagai peraturan pelaksana keberadaan Permenkumham RI Nomor 15 Tahun 2019 telah mengatur secara terinci dan teknis tentang procedural maupun tata cara penyampaian sistem keterbukaan informasi pemilik manfaat dari korporasi atau dikenal dengan Beneficial Ownership (BO). Berdasarkan ketentuan Pasal 4 telah diatur secara tegas tahapan pemberian informasi terkait kewajiban Korporasi untuk menyampaikan informasi Beneficial Ownership (BO) dengan benar sesuai mekanisme pendirian Korporasi yang dimulai dengan pembuatan akta pendirian, permohonan pengesahan akta pendirian, proses pendaftaran dan/atau pengesahan dan pengurusan ijin-ijin yang berkaitan dengan pelaksanaan maupun perubahankegiatan usaha korporasi yang kesemuanya dilakukan secara elektronik melalui AHU Online. Pelaksanaan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi yang diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa penyampaian Informasi Beneficial Ownership (BO) sesuai tahapannya dapat dilakukan secara elektronik melalui AHU Online sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua tentang Penyampaian Informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi Pada Saat Permohonan Pendirian, Pendaftaran, dan/atau Pengesahan Korporasi, yaitu dalam Pasal 7 Ayat (1) Penyampaian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, dan/atau pengesahan Korporasi sebagaimana dimasud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a dilaksanakan oleh Notaris, dan dalam Ayat (2) menegaskan Penyampaian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilakukan secara elektronik melalui AHU Online.

Selain itu penyampaian Informasi Beneficial Ownership (BO) juga meliputi pada waktu Korporasi menjalankan kegiatan usahanya yang diatur Pasal 8 Ayat (1) Penyampaian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi pada saat Korporasi menjalankan usaha atau kegiatannya dilaksanakan oleh :
a. Notaris;
b. Pendiri atau pengurus Korporasi; atau
c. Pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri atau pengurus Korporasi.
(2) Penyampaian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik melalui AHU Online. Apabila terjadi Perubahan Informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi maka sesuai ketentuan dalam Pasal 9 Ayat (1) Penyampaian perubahan informasi
Pemilik Manfaat dari Korporasi dilakukan oleh :
a. Notaris;
b. Pendiri atau pengurus Korporasi; atau
c. Pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri atau pengurus Korporasi.
Lebih lanjut sesuai ketentuan Ayat (2) Penyampaian perubahan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat :
a. Penambahan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi; dan/atau
b. Pencabutan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi. Ayat (3) Penyampaian perubahan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak terjadinya perubahan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi.
(4)Penyampaian perubahan informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik melalui AHU Online. Demikian pula apabila akan pembaharuan atau pemutahiran data Informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi, maka sesuai ketentuan dalam Pasal Pasal 10 Ayat (1) Penyampaian pengkinian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi dilakukan oleh :
a. Notaris;
b. Pendiri atau pengurus Korporasi; atau
c. Pihak lain yang diberi kuasa oleh pendiri atau pengurus Korporasi.
(2) Pengkinian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui peninjauan terhadap informasi dari Pemilik Manfaat dari Korporasi yang telah disampaikan sebelumnya oleh Korporasi.
(3) Dalam hal terdapat pengkinian terhadap informasi dari Pemilik Manfaat Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Korporasi menyampaikan informasi terbaru Pemilik Manfaat dari Korporasi kepada Menteri.
(4) Penyampaian pengkinian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) tahun.
(5) Penyampaian pengkinian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan 1 (satu) tahun sejak penyampaian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi atau penyampaian pengkinian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi yang terakhir.
(6) Penyampaian pengkinian informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara elektronik melalui AHU Online. Dalam era digitalilasi sekarang ini pelaku usaha maupun Notaris sudah seharusnya memberikan respon positif atas keberadaan teknologi informasi yang telah mengalami tranformasi yang luar biasa, dan hal ini sejalan dengan kebijakan yang dilakukan oleh Kemenkumham RI melalui inovasi sistem digitalisasi yang bertujuan memberikan kemudahan informasi maupun layanan kepada masyarakat dengan sistem elektronik. Dengan demikian Permenkumham RI Nomor : 15 Tahun 2019 telah memberikan pelayanan terbaik dengan menyediakan sistem informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi yang dapat dilakukan secara elektronik melalui AHU Online. guna memperoleh informasi mengenai Pemilik Manfaat yang akurat, terkini, dan tersedia untuk umum. HAK INGKAR NOTARIS Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (disingkat UUJN) penggunaan hak ingkar belum menjadi pokok bahasan serius yang akibatnya dalam pelaksanaan tugas jabatannya Notaris sering kali diminta secara langsung oleh Penyidik, Penuntut umum dan Hakim untuk memberikan kesaksian mengenai isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatannya. Setelah berlakunya UUJN penegakan hukum yang berkaitan dengan Kewajiban merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperoleh dalam pembuatan akta yang mengandung unsur "Kewajiban Ingkar Notaris dan Hak Ingkar Notaris". Melalui kententuan yang diatur dalam pasal 66 ayat (1) UUJN dinyatakan pemeriksaan terhadap Notaris harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah", dan akan tetapi kemudian ketentuan tersebut dianggap sangatbertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sepanjang mengenai frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 49/PPU-X/2012. Hak Ingkar Notaris merupakan alasan pembenaran yang diperkenankan UU terhadap seorang Notaris untuk meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian mengenai isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, dan hak ingkar Notaris merupakan salah satu bahagian dari Kewajiban Ingkar Notaris. Penggunaan Hak Ingkar Notaris diatur secara sporadis dalam beberapa ketentuan UU, yaitu Pasal 1909 KUH Perdata, Pasal 146 HIR, Pasal 170 KUHP, serta pasal 89 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, dan dasar hukum pembebasan Notaris dari kewajiban memberikan kesaksian terdapat dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf f, dan Pasal 54 UUJN.
Sanksi Pidana bagi Notaris yang melanggar kewajiban untuk merahasiakan tersebut diatur dalam Pasal 322 KUHP dan Sanksi Administrasi kepada Notaris diatur dalam Pasal 16 ayat (11) UUJN, dan akan tetapi Permenkumham RI Nomor : 15 Tahun 2019 telah mengatur secara terinci dan teknis telah memberikan beban dan tanggung jawab kepada Notaris dalam Pelaksanaan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi yang diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa penyampaian Informasi Beneficial Ownership (BO) sesuai tahapannya dapat dilakukan secara elektronik melalui AHU Online sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua tentang Penyampaian Informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi Pada Saat Permohonan Pendirian, Pendaftaran, dan/atau Pengesahan Korporasi KEWAJIBAN INGKAR NOTARIS Selanjutnya berdasarkan UUJN No.2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UUJN No.30 Tahun 2004 yang pada pokoknya berisi tentang penegasan kembali arti pentingnya pelindung hukum bagi Notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya sebagai Pejabat Umum dalam menjaga kerahasiaan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta. Melalui ketentuan Pasal 66 UU No. 2 Tahun 2014 (UUJN Revisi) menjadi tongak sejarah yang memberikan penghargaan kepada pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang harus dilindungi sebagai Pejabat Umum dengan Kewajibannya merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, dan karenanya Pasal 66 UU No. 2/2014 merupakan dasar hukum pelaksanaan hak dan kewajiban ingkar bagi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya. Berkenaan dengan keberadaan Permenkumham RI Nomor : 15 Tahun 2019 telah mengatur secara terinci dan teknis tentang prosedural maupun tata cara penyampaian sistem keterbukaan informasi pemilik manfaat dari korporasi atau dikenal dengan Beneficial Ownership (BO), dan berdasarkan ketentuan Pasal 4 telah mengatur secara tegas tahapan pemberian informasi terkait kewajiban Korporasi untuk menyampaikan informasi Beneficial Ownership (BO) dengan benar sesuai mekanisme pendirian Korporasi yang dimulai dengan pembuatan akta pendirian, permohonan pengesahan akta pendirian, proses pendaftaran dan/atau pengesahan dan pengurusan ijin-ijin yang berkaitan dengan pelaksanaan maupun perubahan kegiatan usaha Korporasi yang kesemuanya dilakukan secara elektronik melalui AHU Online, dan selanjutnya menjadi pertanyaan apakah ketentuan Permenkumham RI Nomor : 15 Tahun 2019 tidak bertentangan dengan keberadaan Hak Ingkar (verschoningrecht) dan Kewajiban Ingkar (verschoningsplicht) dari Notaris melekat dalam kedudukan dan jabatannya sebagai Pejabat Umum. Merujuk kepada ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN mengenai sumpah/janji Notaris ditegaskan “…bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya..”, dan dari rumusan ketentuan sumpah jabatan tersebut terdapat unsur-unsur yang berkaitan dengan kewajiban Notaris untuk merahasiakan :
a. Isi akta, dan
b. Keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan. Dan selanjutnya berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN disebutkan bahwa Notaris berkewajiban untuk “merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”, dan dari ketentuan tersebut secara tegas dan jelas dirumuskan tentang kewajiban Notaris untuk merahasiakan mengenai :
a. Segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya,
b. Segala keterangan yang diperolehnya.
c. guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan,
d. kecuali undang-undang menetukan lain. Berdasarkan kedua ketentuan pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f dari UUJN dapat disimpulkan rumusan hukum yang bersifat imperatif tentang kewajiban yang melekat dalam tugas jabatannya sebagai Notaris dalam rangka merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, terkecuali Undang-undang menentukan lain. Dengan adanya kewajiban Notaris untuk merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang disampaikan para pihak dalam rangka pembuatan akta, maka dalam dokrin dikenal penggunaan istilah tehnis yuridis, yaitu :
a. Kewajiban Ingkar Notaris, dan
b. Hak Ingkar Notaris Kewajiban ingkar lebih bersifat imperatif (memaksa) terkait dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang harus menjamin kerahasiaan isi dan keterangan dalam akta yang diperbuat dihadapannya. Dengan demikian Kontruksi Yuridis dari penggunaan istilah tehnis "Kewajiban Ingkar" secara langsung berasal dari dan diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN tidak dapat dengan serta merta diberikan beban dan tanggung jawab kepada Notaris dalam Pelaksanaan penerapan prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi yang diwujudkan dalam bentuk tertulis berupa penyampaian Informasi Beneficial Ownership (BO) sesuai tahapannya dapat dilakukan secara elektronik melalui AHU Online sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua tentang Penyampaian Informasi Pemilik Manfaat dari Korporasi Pada Saat Permohonan Pendirian, Pendaftaran, dan/atau Pengesahan Korporasi sebagaimana diatur dalam Permenkumham RI Nomor : 15 Tahun 2019, Meskipun Kewajiban Ingkar Notaris lebih bersifat memaksa (imperatif) secara hukum akan menjadi gugur dan tidak dapat dipertahankan apabila menurut ketentuan pasal 66 UUJN yang nantinya apabila atas permintaan dari Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim yang telah mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari MKN untuk kepentingan proses Peradilan, Penyidikan, Penuntutan berwenang :
a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau
Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris ; dan
b. Memanggil Notaris untuk hadir dalampemeriksaan yang berkaitan dengan Akta atau
Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Gugurnya Kewajiban Ingkar Notaris dan/atau Hak Ingkar Notaris sejalan Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : 7 Tahun 2016 Tentang Majelis Kehormatan Notaris yang menentukan pemanggilan terhadap Notaris oleh Penyidik/Jaksa Penuntut Umum/Hakim harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari Majelis Kehormatan Notaris Wilayah (MKNW) Propinsi. Hak ingkar Notaris lebih bersifat fakultatif (tidak memaksa) yang merupakan salah satu Kewajiban Ingkar Notaris sebagaimana tersebut dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN. Hak Ingkar merupakan pengertian tehnis yuridis yang menyebabkan suatu kewajiban hukum akan menjadi batal apabila digugurkan oleh Hakim berdasarkan Pasal asal 170 KUHAP, Pasal 1909 KUHPerdata, Pasal 146 HIR, dan Pasal 174 RBg.
KESIMPULAN Dari uraian terkait dengan pelaksanan pemberian informasi Beneficial Ownership (BO) dikaitkan dengan pelaksanan tugas jabatan Notaris dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.Dengan adanya ketentuan untuk mendapatkan NIB lewat Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau Online Single Submission (OSS) telah dapat membantu informasi Beneficial Ownership (BO) dengan benar sesuai mekanisme pendirian Korporasi yang dimulai dengan pembuatan akta pendirian, permohonan pengesahan akta pendirian, proses pendaftaran dan/atau pengesahan dan pengurusan ijin-ijin yang berkaitan dengan pelaksanaan maupun perubahan kegiatan usaha Korporasi yang kesemuanya dilakukan secara elektronik melalui AHU Online.
2.Notaris sebagai Pejabat Umum tidak dapat dengan serta merta diberikan beban tanggung jawab untuk memberikan informasi yang berada diluar kewenangannya, satu dan lain hal dalam pelaksanaan tugas jabatannya Notaris terikat dengan ketentuan pasal 4 ayat (2) Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf f dari UUJN dapat disimpulkan rumusan hukum yang bersifat imperatif tentang kewajiban yang melekat dalam tugas jabatannya sebagai Notaris dalam rangka merahasiakan isi akta dan keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan akta, terkecuali Undang-undang menentukan lain.

SARAN-SARAN Untuk menghindari pengalihan beban dan tanggung jawab kepada Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya disarankan mencantum klausula penutup akta sebagai berikut :
1.Para penghadap menyatakan dengan ini menjamin akan kebenaran keaslian dan kelengkapan identitas pihak-pihak yang namanya tersebut dalam akta ini dan seluruh dokumen yang menjadi dasar dibuatnya akta ini tanpa ada yang dikecualikan sebagaimana yang disampaikan kepada saya, Notaris, sehingga apabila dikemudian hari sejak ditandatangani akta ini timbul sengketa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang disebabkan oleh akta ini, maka para penghadap yang membuat keterangan dengan ini berjanji dan mengikatkan dirinya untuk bertanggung jawab penuh dan bersedia menanggung segala risiko yang timbul dan dengan ini para penghadap menyatakan dengan tegas membebaskan saya, Notaris dan saksi dari turut bertanggung jawab dan memikul baik sebagian maupun seluruhnya segala akibat hukum yang mungkin timbul karena sengketa tersebut.
2.Para penghadap juga menyatakan telah mengerti, memahami dan menyetujui isi akta ini dan kemudian para penghadap membubuhkan sidik jari jempol tangan kanan pada lembaran tersendiri dihadapan saya, Notaris saksi-saksi, yang dilekatkan pada minut akta ini.
*) Disampaikan dalam rangka sosialisasi Benefecial Ownership (BO) yang diselenggarakan oleh Kementerian Hukum dan HAM RI Kantor Wilayah Sumatera Utara di Hotel Adi Mulia, 11 Maret 2020



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas