Analisa Dr. Widijatmoko, SH

Notaris/ PPAT Jakarta Timur/dosen/narasumber

Sudah menjadi tradisi dankebiasaan para notaris di Indonesia, akademisi,serta praktisi hukum yang sangat "mengagung-agungkan" aturan hukum KUHPerdata sebagai aturan dasar di bidang hukum keperdataan, hingga menganggap bangsa Indonesia tidak mampu untuk membuat danmenyusun sendiri hukum keperdataan pasca kemerdekaan hingga pasca reformasi. Hingga hari ini, November 2019, hukum keperdataan di Indonesia masih "bersandar" pada KUHPerdata peninggalan PemerintahKolonial Belanda.

Sejak kemerdekaan negara Republik Indonesia 17 Agustus 1945 hingga saat ini sudah banyak pasal-pasal dalam KUHPerdata yang dicabut dandinyatakan tidak berlaku lagi akibat telah dibuat dandisahkan berbagai UU yang dibuat oleh Pemerintah RI danDPR RI. Akan tetapi para praktisi hukum, akademisi hukum danbirokrat hukum tidak pernah melakukan analisis, kompilasi danresume serta mendata secara komprehensif ketentuan pasal-pasal dalam KUHPerdata yang manayangmasih berlaku, danyang mana sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.

Salah satu ketentuan dalam KUHPerdata yang masih banyak digunakan sebagai acuan adalah ketentuan KUHPerdata yang mengatur tentang "Perjanjian Kawin" yang diatur dalam pasal 139 sampai denganpasal 198, sedangkan berdasarkan pasal 66 UU Nomor 1Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan bahwa :

"Untuk perkawinan dan ‘segala sesuatu yang berhubungan denganperkawinan` berdasarkan UU ini, maka denganberlakunya UU ini ketentuan-ketentuanyang diatur dalamKUHPerdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (S.1933 no 74), Peraturan Perkawinan Campuran (S.1898 no 158) & peraturan2 lain yang mengatur tentangperkawinan sejauh telah diatur dalam UU ini, DINYATAKAN TIDAK BERLAKU".

Berarti denganpasal 66 UU 1/1974 pengaturan ketentuan hukum tentang perjanjian kawin yang diatur dalam KUHPerdata "demi hukum" adalah tidak berlaku dantidak dapat lagi digunakan dasar penerapan hukum perjanjian kawin di Indonesia karena telah diatur dalam pasal 29 UU 1/1974 dan kemudian diubah denganPutusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 yang mengatur danmenetapkan sebagai kerikut:

  1. Sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

  1. Perjanjian kawin tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batashukum, agama dan kesusilaan.

  1. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kawin.

  1. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian kawin dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lain, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Khusus terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang mengatur bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) dimana akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat keterangan. Hal ini berlaku bukan saja pada pembuatan perjanjian perkawinan, namun juga atas perubahan dan pencabutan perjanjian perkawinan.

Disamping itu, terhadap harta dalam perkawinan juga diatur secara tegas danjelas dalampasal 35, pasal 36danpasal 37 UU 1/1974 sebagai berikut:

Pasal 35

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36

(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapatbertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing.

Berdasarkan ketentuan pasal 139 sampai denganpasal 198 KUHPerdata, ada 4 macam perjanjian kawin yaitu :

  1. Perjanjian kawin pisah harta;
  2. Perjanjian kawin persatuan untung-rugi;
  3. Perjanjian kawin persatuan hasil danpendapatan;
  4. Perjanjian kawin dengansyarat-syaratkhusus/tertentu yangdikehendaki para pihak.

Ketentuan inikinimasih menjadi pemahaman dan acuan oleh akademisi, praktisi hukum dan penegak hukum.

Denganmengingat hal di atas berdasarkan pasal 66 UU 1/1974, ketentuan tentang perjanjian kawin dalam KUHPerdata, menurut penulis, adalah termasuk ketentuan yang dinyatakan tidak berlaku lagi oleh pasal 66 UU 1/1974.

Kemudian pengaturan hukum terhadap perjanjian kawin, diatur dalam pasal 29 juncto pasal 36 & pasal 36 UU 1/1974 jo Putusan MK RI 69/2015. Menurut penulis, macam perjanjian kawin berdasarkan UU 1/1974 juncto Putusan MK RI 69/2015 sbb :

  1. Perjanjian kawin yang terjadi karena UU

Perjanjian kawin yang terjadi karena UU ini dikarenakan ketentuan pasal 35 ayat 2 danpasal 36 ayat 2 UU 1/1974, dimana seluruh harta bawaan masing-masingsuami istri karena UU adalah milik dan dibawah penguasaan masing-masing. Kecuali para pihak dengansuatu perjanjian kawin dapat mengatur danmenetapkan yang lain. Hal ini menjadi perjanjian kawin yang timbul akibat perkawinan yang disebabkan ketentuan UU 1/1974.

  1. Perjanjian kawin yg dikehendaki dandibuat oleh para pihak (suami-istri).

Perjanjian kawin yang dikehendaki dandibuat oleh para pihak (suami istri) ini, adalah didasarkan pada ketentuan pasal 29 UU 1/1974 jo Putusan MK RI 69/2015, ketentuan tersebut, penulis berpendapat bahwa macam perjanjian kawin ada 2 macam yaitu :

  1. Perjanjian kawin pisah harta

Perjanjian kawin pisah harta adalah perjanjian kawin yang mengatur bahwa selama perkawinan, yang dimulai sejak dilangsungkan perkawinan atau sejak waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kawin, terjadi pemisahan kepemilikan danpenguasaan harta benda oleh masing-masingpihak suami istri dalam perkawinan dantidak terjadi adanya percampuran harta perkawinan, kecuali ditentukan lain oleh suami-istri.

  1. Perjanjian kawin dengan syarat/ketentuan khusus yang dikehendaki para pihak (suami-istri).

Berdasarkan Putusan MK 69/2015 yang mengubah ketentuan pasal 29 ayat 3 UU 1/1974, menetapkan bahwa "perjanjian kawin itu dapat mengenai 1) harta perkawinan, atau 2) perjanjian lain", sehingga dengan demikian, para pihak dapat mengatur danmenetapkan isi perjanjian kawin tersebutberupa hal syarat/ketentuan khusus yang dikehendaki oleh suami-istri, baik berupa harta benda dalam perkawinannya, maupun berupa perjanjian lainnya yang dikehendaki oleh suami istri tersebut.

Disamping itu, berdasarkan Putusan MK RI 69/2916 yg mengubah pasal 29 ayat 3 UU 1/1974 tersebut, perjanjian kawin dapat pula dibagi menjadi 2 macam, yaitu :

  1. Perjanjian kawin yang mengatur harta benda dalam perkawinandan,

  1. Perjanjian kawin yangtidak mengatur tentang harta benda dalam perkawinan.

Berdasarkan Putusan MK RI 69/2015 yang mengubah pasal 29 ayat 1 UU 1/1974, Perjanjian kawin dapat dibuat dengan 2 cara yaitu :

  1. Perjanjian kawin dibuat dengaakta/surat dibawah tangan.

Apabila perjanjian kawin dibuat dg akta/surat dibawah tangan, maka perjanjian kawin tersebut"wajib disahkan" oleh :

  1. Pegawai pencatat perkawinan, yaitu :

1) catatan sipil, untuk suami istri yangmelangsungkan perkawinan berdasarkan agama Katolik, Kristen, Hindu, Budha, atau berdasarkan aliran kepercayaan.

2) Kantor Urusan Agama (KUA), untuk suami istri yangmelangsungkan perkawinan berdasarkan agama Islam.

  1. Notaris.

Pengesahan perjanjian kawin oleh notaris, berdasarkan pasal 29 ayat 1 tersebutapabila dikaitkan dengan UU 30/2004 juncto UU 2/2014, dapat dilakukan dengan2 cara, yaitu :

1) Legalisasi (pengesahan tanda tangan yangkemudian dibukukan/dicatatkan pada buku khusus untuk legalisasi)

2) Waarmerking (pencatatan/regitrasi terhadap akta/surat yg dibuat secara dibawah tangan pada buku khusus untuk waarmerking)

Pengesahkan perjanjian kawin yangdibuat berdasarkan UU 1/1974 juncto Putusan MK RI 69/1974 oleh notaris, berlaku untuk semua orang (suami istri) yang membuat perjanjian kawin, tanpa membedakan agama, kewarganegaraan, suku danbangsa.

  1. Perjanjian kawin dibuat denganakta otentik (akta notaris)

Apabila perjanjian kawin dibuat denganakta notaris, maka "demi hukum" harus dianggap dandiartikan bahwa "perjanjian kawin yangdibuat denganakta notaris adalah telah disahkan oleh notaris" dan telah memenuhi ketentuan pasal 29 ayat 1, berlaku mengikat bagi suami istri danpihak lain yangterkait. Perjanjian kawin yangdibuat denganakta notaris "tidak perlu disahkan/dicatatkan pada pegawai pencatat perkawinan (Catatan Sipil/KUA), karena pasal 29 ayat 1 yangdiubah denganPutusan MK RI 69/2015 mengatur danmemerintahkan "pengesahan perjanjian kawin" dapat dilakukan pada : 1) pegawai pencatat perkawinan, atau 2) notaris.

Dengan demikian, perjanjian kawin yangdibuat denganakta notaris, demi hukum, berlaku mengikat sejak akad nikah atau sejak waktu lain yang disepakati suami istri tersebutpada perjanjian kawin yang dibuat dan ditanda tangani oleh suami istri dihadapan notaris yang dimuat dalam akta notaris tentang perjanjian kawin.

Berdasarkan pasal 29 ayat 3 yang diubah denganPutusan MK RI 69/2015, "saat mulai berlakunya" perjanjian kawin adalah "dimulai saat akad nikah, atau saat waktu yang disepakati oleh suami istri tersebut yangditetapkan dalam perjanjian kawin yangdibuat suami istri", hal ini berlaku untuk semua perjanjian kawin, baik yang dibuat :

  1. Pada saat sebelum perkawinan, atau
  2. Pada saat dilangsungkan akad nikah, atau
  3. Pada saat setelah dilangsungkan perkawinan.

Berdasarkan pasal 29 ayat 4 yangdiubah denganPutusan MK RI 69/2015, terhadap perjanjian kawin :

  1. Dapat diubah;
  2. Dicabut/dibatalkan;

berdasarkan kesepakatan suami istri, selama hal tersebut tidak merugikan pihak ketiga.

Dengan demikian, maka ketentuan hukum tentangperjanjian kawin yg berlaku saat ini adalah ketentuan hukum yg diatur dalam pasal 29 yangdiubah dengan Putusan MK RI 69/2015 juncto pasal 35 & pasal 36 UU 1/1974, dan semua ketentuan perjanjian kawin yangdiatur dalam pasal 138 sampai dengan pasal 197 KUHPerdata adalah tidak berlaku lagi.

Oleh karena itu, dalam penerapan hukum terhadap perjanjian kawinwajib hukum nya menerapkan dan menggunakan ketentuan pasal 29 yangdiubah dengan Putusan MK RI 69/2015 juncto pasal 35 danpasal 36 UU 1/1974.



Komentar Untuk Berita Ini (0)

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas