perlindungan hukum notaris

 <!–[if gte mso 9]><xml>

800×600

</xml><![endif]–>

PERLINDUNGAN HUKUM

TERHADAP TANGGUNG JAWAB (JABATAN) NOTARIS

TERKAIT DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 49/PUU-X/2012, TANGGAL 28 MEI 2013[1]

 

Oleh : TOMSON SITUMEANG, S.H.[2]

 

 

A.   PENDAHULUAN

 

Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 seiring dengan kehadiran Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC), yaitu pada lalu lintas hukum perdagangan yang dilakukan dengan Akta Notariil, sebagaimana pendapat Notodisoerjo yang menyatakan bahwa Lembaga Notariat dikenal di Indonesia sejak Indonesia dijajah oleh Belanda[3]. Notaris sebagai Pejabat Umum[4] berwenang untuk membuat akta otentik sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris[5]. Oleh karena itu, maka memang dibutuhkan adanya Perlindungan Hukum terhadap Notaris dalam menjalankan Jabatannya selaku Pejabat Umum.

Sebagai Pejabat Umum, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya, sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya[6].

Namun demikian, Akta otentik yang dibuat oleh Notaris tak jarang dipermasalahkan oleh salah satu pihak atau oleh pihak lain karena dianggap merugikan kepentingannya, baik itu dengan pengingkaran akan ISI, tanda-tangan maupun kehadiran pihak di hadapan Notaris, bahkan adanya dugaan dalam Akta Otentik tersebut ditemukan keterangan palsu. Hal ini dimungkinkan dengan begitu banyaknya jenis Akta otentik yang dapat dibuat oleh Notaris. Sebagai contoh, Akta Nomor 7, tanggal 19 Desember 2010 tentang Penyimpanan Surat, yang dibuat oleh Syane Runtulalo, S.H., Notaris di Cianjur[7].

Perlindungan Hukum yang diberikan terhadap (Jabatan) Notaris yang ternyata juga diikuti dengan adanya Hak Istimewa Lainnya dari Notaris, yaitu ketika dipanggil untuk dimintai keterangan, baik oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun oleh Hakim harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah sebagaimana ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris (sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013), tidak menutup kemungkinan disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, baik itu melibatkan Notaris-nya ataupun tidak. Apabila Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris disalahgunakan, bukan tidak mungkin akan menghambat proses peradilan untuk mengungkap kejahatan. Apalagi terdapat beberapa jenis kejahatan terkait dengan Akta Notaris, diantaranya sebagai berikut[8]:

a.  membuat dan menggunakan surat palsu atau menyuruh orang lain memakai surat palsu;

b.  sengaja memakai surat palsu;

c.  melakukan pemalsuan surat, atas: akta-akta autentik, surat hutang, sertifikat utang, talon, tanda bukti deviden, suatu kredit atau surat dagang;

d.  menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta authentik;

e.  melakukan, menyuruh melakukan dan/atau turut serta melakukan kejahatan dalam ketentuan pasal-pasal sebelumnya (Pasal 55 KUHP juncto Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP atau Pasal 264 KUHP atau Pasal 266 KUHP);

f.  membantu melakukan kejahatan dalam ketentuan pasal-pasal sebelumnya (Pasal 56 KUHP juncto Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP atau Pasal 264 KUHP atau Pasal 266 KUHP);

g.  pejabat menerima hadiah atau janji, karena kekuasaan atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 418 KUHP);

h.  pejabat menerima hadiah atau janji, untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya (Pasal 419 KUHP);

 

 

 

 

 

 

B.   PERLINDUNGAN HUKUM (JABATAN) NOTARIS SEBELUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-X/2012, TANGGAL 28 MEI 2013

 

Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Pejabat Umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Khusus terkait dengan pembuatan Akta yang dilakukan oleh Notaris, Undang-Undang Jabatan Notaris memberi perlindungan hukum kepada Notaris sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) tentang Sumpah / Janji Notaris salah satunya berbunyi “…bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya…”. Lebih lanjut lagi diatur dalam kententuan Pasal 16 ayat (1) huruf e, yang berbunyi “…Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: e.merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain…”.

Akan tetapi batasan “…Undang-Undang menentukan lain…” ini tidak ditemukan pengaturannya. Bahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memberikan kesempatan bagi seseorang untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan diwajibkan menyimpan rahasia. Demikian juga halnya ketentuan Pasal 1909 ayat (2) KUHPerdata dan ketentuan Pasal 322 ayat (1) KUHP. Namun, jika dipahami ketentuan-ketentuan tersebut, maka yang wajib dijaga kerahasiaannya adalah hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu.

Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Pejabat Umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang secara khusus terkait dengan pembuatan Akta diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf e. tentang kewajiban Notaris untuk menjaga kerahasiaan atas akta yang dibuatnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta yang dibuatnya[9].

Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b, Notaris wajib membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta, sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan, atau kqtipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya[10]. Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli wariq, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain ole` perateran perundang-undaneaj, hal ini sesuaa dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Dalam memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan ISI AKTA, Notaris dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan kepada:

1.  orang yang berkepentingan langsung pada akta;

2.  ahli uaris; atau

3.  orang yang memperoleh hak.

Pengertian tendang “orang yang memperoleh hak” tidak dijelaskan atau diuraikan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, sehingga juga akan menimbulkan multitafsir, salah sadunia adadah ketika seseorang yang merasa hakfya dirugikan akibat adanya dugaal Akta Palse atau Keterangan Palcu dalam akta, maka orang tersebut membuat Laporan / Pengaduan ke Kepolisian RI. Dengan dibuatnya Laporan / Pengaduan ke Kepolisian RI, maka @enyidik Kepolisian RI adalah “orang yang memperoleh hak” untuk melihat dan mengetahui ISI AKTA, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, apakah Akta tersebut Palsu atau apakah terdapat Keterangan @alse dalam akta tersebut$ akan dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocoikannya dengan aslinya.

Namun Penyidik Kepolisian RI sebagai “orang yang memperoleh hak” untuk melihat dan mengetahui ISI AKTA, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta ternyata tidak dapat dengan mudah untuk melihat dan mengetahui ISI AKTA, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta karena Penyidik harus juga tunduk dan patuh atas ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris (sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013), yaitu Penyidik dalam mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris harus “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”. Hal inilah yang oleh Penulis disebutkan sebagai “Hak Istimewa Lainnya” dari Notaris, sehingga akan menyulitkan Penyidik Kepolisian RI untuk mengungkap/menyidik “apakah Akta tersebut Palsu” atau “apakah terdapat Keterangan Palsu dalam akta tersebut” dengan mencocokkannya dengan aslinya.

Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris tersebut juga diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007. Pada BAB III Permenkumham tersebut diatur tentang Syarat Dan Tata Cara Pengambilan Minuta Akta dan/atau Surat-Surat Yang Diletakan Pada Minuta Akta Atau Protokol Notaris Dalam Penyimpanan Notaris, yaitu dengan tata cara sebagai berikut:

1.  Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan untuk pengambilan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, apabila[11]:

a.  ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;

b.  belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalarn peraturan perundang-undangan di bidang pidana;

c.  ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;

d.  ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau

e.  ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).

2.  Persetujuan Majelis Pengawas Daerah diberikan setelah mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan[12].

3.  Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan[13].

4.  Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui[14].

Selain itu, pada BAB IV Permenkumham tersebut diatur tentang Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris, yaitu dengan tata cara sebagai berikut:

1.  Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah[15] dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan[16].

2.  Permohonan tersebut memuat alasan pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa[17].

3.  Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan pemanggilan Notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana[18].

4.  Persetujuan Majelis Pengawas diberikan setelah mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan[19].

5.  Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa apabila tidak memenuhi ketentuan poin 3 di atas[20].

6.  Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan[21].

7.  Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui[22].

Namun, bagaimana apabila syarat-syarat yang ditentukan sudah terpenuhi, akan tetapi Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan? Apakah lantas pemeriksaan yang harus dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim akan berhenti sampai di situ? Baik Undang-Undang Jabatan Notaris maupun Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tidak memberikan solusi atau upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim atas hal tersebut.

 

 

C.   PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-X/2012, TANGGAL 28 MEI 2013

 

Perlindungan Hukum yang diberikan terhadap (Jabatan) Notaris, baik yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris maupun dalam ketentuan-ketentuan peraturan lainnya, menurut Penulis sudah cukup untuk memberikan Perlindungan Hukum bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya guna menjaga kerahasiaan jabatannya. Perlindungan Hukum yang demikian, apabila tetap diikuti dengan “Hak Istimewa Lainnya, tidak menutup kemungkinan disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, baik itu melibatkan Notaris-nya ataupun tidak.

Namun pada saat ini, “Hak Istimewa Lainnya yang dimiliki oleh Notaris sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, pada tanggal 28 Mei 2013 yang lalu telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi RI sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, yang menyatakan:

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *