editorial oleh K. Lukie Nugroho, SH
Tema seminar nasional yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Jawa Barat, Ikatan Notaris Indonesia (Pengwil JaBar, INI) dan Pengwil JaBar, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Pengwil JaBar, IPPAT) Maret 2020 di Bandung mencoba mengantar lebih jauh masyarakat notaris Indonesia untuk masuk dunia digital. Judul atau tema seminar itu : Kewenangan Notaris dan PPAT di Era Digitalisasi.
Tema ini cerdas, walau bukan barang baru di lingkungan notaris. Sebab saat ini makin kencang tuntutan kebutuhan digitalisasi kegiatan manusia dalam segala hal, mulai dari belanja, bayar sekolah, nonton bioskop berbayar, bahkan beli sayur pun bisa lewat aplikasi yang tersedia di hp.
Dalam Seminar dan Forum Group Discussion dua hari itu panitia bekerjasama dengan 4 fakultas hukum, yaitu FHUI, UNPAD, UNPAR, dan UNPAS. Belasan narasumber pun dikerahkan, utamanya pakar hukum dan IT. Misalnya Prof Dr. Asep Warlan, SH, MH dari Universitas Katolik Parahyangan dan Dr. Edmon Makarim, S.Kom, SH, LLM dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Di dalam seminar ini “ diselipkan” topik bahasan mengenai “Kajian Notaris Latin dan Sistem Civil Law”. Sayang sekali medianotaris.com baru boleh meliput di hari kedua.
Dari topik kajian sistem hukum itu agaknya penyelenggara sadar bahwa transformasi teknik manual pekerjaan notaris yang sudah eksis selama lebih dari seabad ke teknologi iT akan berhadapan dengan “tembok besar”, yaitu sistem hukum yang berlaku. Ruh sesungguhnya jabatan notaris itu ditentukan sistem hukum yang berlaku. Sistem hukum yang berlaku menentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang dipakai notaris sebagai landasan menjalankan tugas, wewenang dan jabatannya. Wujudnya adalah pada UU Jabatan notaris yang berlaku.
Sehingga akhirnya dari topik seminar dan FGD ini sudah bisa ditebak ujungnya : pelaksanaan tugas, wewenang dan jabatan notaris, mau pakai manual atau elektronik, akan bergantung pada sistem hukum yang berlaku. Sistem ini dijaga kuat oleh UU Jabatan Notaris .
Pidato penting (keynote speech) Wakil Ketua DPR Dr. HM Azis Syamsudin, SE, SH, MAF, MH di hari kedua mungkin diharapkan hasil seminar ini bisa menjadi masukan buat wakil rakyat mengenai peta aspirasi dunia notaris, khususnya aspirasi kalangan notaris soal dalam menghadapi era digital.
Azis menyatakan bahwa Indonesia sedang menuju ke arah digitalisasi kegiatan masyarakat yang salah satu wujudnya adalah kemudahan dan ketepatan dalam proses kegiatan masyarakat yang memakai basis identitas penduduk yang terpadu, misalnya. Kapan hal itu akan terwujud? Itu semua tergantung pada sumberdaya masyarakat Indonesia, utamanya para ahlinya, katanya.
Namun medianotaris.com belum mendapatkan jawaban dari Azis, sejauh manakah DPR membicarakan RUU Perubahan Jabatan Notaris dalam menyongsong perubahan zaman. Katanya masih akan cek dulu. Wajar Azis tidak hafal, RUU yang ada di DPR terlalu banyak saat ini ketika Pemerintah ngebet mengubah-ubah UU untuk kepentingan usaha.
Teknologi digital, elektronik adalah sebuah kenyataan sejarah yang sedang berlangsung. Digitalisasi proses dan alat bantu kegiatan manusia secara masif memasuki segala sendi kehidupan masyarakat dunia dengan cepat. Dia seolah air bah yang meluncur cepat ke arah laut. Menerjang apa saja yang dilewati. Sepertinya siapa pun akan kesulitan menghindar dari terjangan digitalisasi, eletronisasi proses dan alat bantu manusia mencapai tujuannya dalam kehidupan sehari-hari. Hanya saja kemajuan teknologi tidak mudah untuk mengubah sifat dasar hukum Indonesia yang berasal dari Belanda dan Perancis yang khas berdasarkan hukum positif. Sangat berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon.
Lembaga pemerintahan atau Negara juga berusaha secepatnya menerapkan sistem elektronik/ komputasi dalam proses pelayanan masyarakat, dokumentasi, dan lain-lain. Bahkan kini untuk penerbitan hak hukum masyarakat pun sudah bisa dilakukan dengan cara elektronik, tanpa melewati birokrasi yang ruwet. Contohnya mendirikan badan hukum PT dengan hasil akhirnya SK Menteri. Tapi sekali lagi sistem ini untuk proses pelayanan, atau pengurusan. Bukan untuk menciptakan hukum, atau hak dan kewajiban ketika notaris menandatangani akta di hadapan para pihak. Dalam konteks wewenang dan jabatan notaris, sesungguhnya pengurusan bukan tugas “asli” notaris. Tapi pekerjaan tambahan.
Bagaimana dengan notaris? Sama saja. Agaknya notaris harus cepat belajar menyesuaikan diri dengan kemajuan teknologi informasi atau information technogy atau disingkat IT. Namun dengan catatan bahwa esensi tugas dan jabatan notaris tidak bisa begitu saja diabaikan. Seperti apakah wujud esensi tugas dan jabatan notaris itu sendiri? Jika teknologi IT diterapkan, apakah esensi tugas dan jabatan notaris akan hilang? Amankah proses penandatanganan akta elektronik, atau penandatanganan akta secara virtual tanpa harus adanya pertemuan fisik, berhadapan fisik antara notaris, para pihak dan saksi? Pertanyaan inilah di antaranya yang harus dijawab untuk menuju digitalisasi tadi.
Untuk seminar dan FGD ini, saya sampaikan salut buat Ketua Pengwil Jawa Barat, Ikatan Notaris Irfan Ardiansyah, SH, LLM, dan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Osye Anggandari, SH. Acara ini bisa menjadikan “iri” bagi pengurus lainnya, yang tentunya tergerak melakukan kebaikan yang sama.
Dalam beberapa waktu belakangan medianotaris.com mendapatkan dua atau tiga aspirasi berbeda dari tiga senior di lingkungan notaris, yaitu Habib Adjie dan Badar Baraba. Satunya lagi werda (pensiunan), yaitu Winanto Wiryomartani.
Tiga tokoh notaris ini sama-sama memiliki pengaruh dalam keilmuan kenotariatan. Ketiganya, menurut saya, adalah sekian dari sedikit “seniman” kenotariatan. Pendapat ini tanpa bermaksud menafikan “guru besar” notaris lain yang ada.
Mengapa saya menyebut istilah “seniman”, karena pengetahuan kenotariatan adalah seni mengejawantahkan keinginan masyarakat yang menghadap notaris ke dalam sebuah “karya hukum” yang disebut akta notaris. Pengetahuan kenotariatan tidak sekedar menerapkan aturan seperti copy paste. Tetapi harus memakai “hati”. Namun selama ini hal itu dilakukan dengan duduk bersama secara fisik : para pihak mengaku dirinya sendiri sebagai orang asli sesuai dokumen yang diajukan, jjika membawa istri harus dibuktikan bahwa wanita yang dibawanya memang asli istrinya yang sah, dan notaris menyaksikan dan meneliti, termasuk dalam hal ini disaksikan para saksi yang biasanya diambil dari staf notaris.
Habib Adjie dan Badar atau Winanto sama-sama ahli menuangkan keinginan para pihak ke dalam akta agar sesuai peraturan, atau juga tidak melanggar aturan, atau tidak berpotensi melanggar aturan. Bahkan untuk urusan melengkapi, memverifikasi berbagai dokumen atau perbuatan pengurusan pun mereka ahlinya sehingga tidak mudah “terpeleset” dalam menjalankan tugasnya.
Namun di sisi lain mereka berbeda-beda pandangan walau tidak terlalu signifikan. Dalam hal digitalisasi Habib membuka diri untuk digitalisasi akta, sedangkan Badar ingin digitalisasi hanya dipakai untuk proses pengurusan. Bukan untuk penandatanganan akta. Badar mengkhawatirkan lunturnya marwah jabatan notaris bila membuat akta tidak berhadapan secara fisik antara notaris, penghadap serta saksi-saksi. Sementara itu Habib sendiri merupakan salah satu notaris pionir pemanfaatan teknologi virtual dalam pembuatan akta.
Sementara itu Winanto menyatakan bahwa dalam menjalankan tugasnya notaris harus berdasarkan sistem hukum dan ketentuan perundangan yang berlaku. Peraturan itu adanya di UU Jabatan Notaris. Namun ia menyatakan bahwa kita tidak tidak bisa melawan laju pertumbuhan teknologi sebab kita bisa ketinggalan. Namun Winanto atau Dr. Winanto Wiryoamartani yang baru saja mendapatkan gelar S3 dari Universitas Pelita Harapan ini juga mengingatkan bahwa di Belanda dan juga negara tertentu lainnya, walau digitalisasi sudah diberlakukan, tetapi untuk tandatangan akta masih harus ada syarat kehadiran para pihak secara fisik.
Mengapa saya mempersoalkan masalah “seni kenotariatan”, karena cita-cita mendigitalisasi atau memvirtualkan akta akan menghadapi masalah ini. Jadi bila ada keinginan memperluas makna “ menghadap” secara fisik seperti yang sudah berlaku sampai saat ini menjadi “menghadap” secara virtual maka persoalan-persoalan tadi akan menjadi bahan pemikiran serius.
Agaknya “menghadap” secara fisik oleh para pihak kepada notaris : ditanya satu per satu, orangnya asli sesuai KTP atau tidak, surat nikah dan lain-lain persyaratan, merumuskan keinginan para pihak dengan referensi peraturan dan kode etik dan UU Jabatan, kemudian memberikan penyuluhan hukum, pembacaan draf akta, tandatangan akta yang akhirnya hasilnya menjadi produk hukum yang sah adalah bagian dari “ruh” wewenang dan jabatan notaris. Di sini tercipta hubungan yang dekat antara notaris dan penghadap, dan juga saksi dalam proses pembuataan akta.
Minimal indikator inilah yang merupakan bagian dari “ruh” wewenang dan jabatan notaris. Kalau sebagian dari indikator ini tidak ada atau tidak lengkap maka bisa timbul masalah. Paling tidak kadar aktanya sebagai alat bukti sah menjadi kurang.
Bisa juga muncul kekhawatiran bila “penghadapan” para pihak kepada notaris dan saksi-saksi dilakukan secara virtual. Kekhawatiran itu misalnya seseorang penghadap tidak seratus persen dalam keadaan bebas tekanan ketika melakukan penghadapan di suatu lokasi di mana dia menghadap ke kamera dan melakukan perbuatan hukum.
Sejumlah pertanyaan seperti inilah yang bisa mewakili harapan para notaris, baik yang setuju atau menolak digitalisasi atau penandatanganan akta secara virtual atau secara on line.
Habib Adjie dalam seminar on line yang diselenggarakan Pengwil INI Sumatera Utara, 6 Mei 2020, menyatakan idenya yang sudah lama pernah dilontarkan tentang akta virtual. Habib memahami bahwa semua ini bisa dilakukan kalau sistem hukum dan UU nya memberikan landasan.
Sebuah pernyataan penting terlontar dari Gurubesar Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, SH, MH dalam seminar di Bandung ituadalah bahwa digitalisasi atau sistem elektronik tidak menjadi pengganti kedudukan notaris sebagai pejabat umum. Sebagai pejabat umum yang ditunjuk dan diberi kewenangan oleh Negara seharusnya notaris tidak dapat digantikan atau dihilangkan begitu saja dengan peraturan-peraturan yang melaksanakan kegiatan dengan cara digitalisasi.
Artinya, pemerintah harus tetap mempertahankan eksistensi dan keberadaan Notaris/ PPAT dalam pembuatan hukum, sekali pun dengan cara digitalisasi.
medianotaris.com mencoba “berseminar” kecil-kecilan secara searah dengan narasumber berikut yang disajikan secara berurutan. Para narasumber ini adalah para notaris kritis yang sehari-hari tahu bagaimana tugas, wewenang dan jabatannya dijalankan. Mereka akan kami ajukan pertanyaan yang kurang lebih sama.
Mereka, di antaranya, adalah Dr. Winanto Wiryomartani, SH, MH, Dr. Habib Adjie, SH, MHum, Dr. Udin Narsudin, SH, MH, Dr. Hapendi Harahap, SH, MH, Dr. Diah Sulistyani Muladi, SH, SpN, MHum, kandidat Doktor Indra Iswara, SH, Mkn, M. Ikhsan Lubis, SH, SpN, dan lainnya.
Penulis editorial adalah alumni Fakultas Hukum UI, pemimpin redaksi medianotaris.com
Komentar Untuk Berita Ini (0)
Kirim Komentar