Oleh : H. Ikhsan Lubis,S.H.,SpN.

Ketua Pengwil Sumatera Utara, Ikatan Notaris Indonesia

Disampaikan dalam Up-Grading dan Penyegaran Pengetahuan Notaris

oleh Pengda Kab. Deli Serdang Ikatan Notaris Indonesia (I.N.I)

dan Pengwil Sumut Ikatan Notaris Indonesia(I.N.I)

Di Medan - Le Polonia Hotel, 27 Februari 2021

Pada era moderenisasi sekarang ini setiap pelaku usaha maupun Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sudah seharusnya memberikan respon positif atas keberadaan teknologi informasi dan komunikasi yang telah mengalami transformasi luar biasa. Hal ini sejalan dengan tuntutan tugas jabatan Notaris yang menghendaki pelayanan lebih cepat, mudah dan tidak berbelit-belit yang kesemuanya sebagai bentuk inovasi sistem digitalisasi yang bertujuan memberikan kemudahan informasi maupun komunikasi berupa pelayanan publik terbaik kepada masyarakat sejalan dengan kemajuan sistem elektronik.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini telah terlaksana semakin lancar dan cepat, yang telah mempengaruhi dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Diantaranya juga telah mempengaruhi pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang berdasarkan kewenangannya akan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang juga harus beradaptasi mengikuti perkembangan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam bentuk media elektronik terkait dengan pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang seringkali disebut sebagai e-notary atau dikenal juga sebagai cyber notary.

Media elektronik sebagai salah satu alternatif yang mempertemukan maksud dan kehendak para pihak meskipun tidak berhadapan secara langsung (physical activity), dan media elektronik yang dapat dipergunakan antara lain teknologi informasi dan komunikasi yang berbasis sistem digitalisasi media elekteronik yang dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang juga sering dikenal dikenal zoom cloud mettings (ZCM), telekonfrensi dan email address yang kesemuannya merupakan media elektronik sebagai alat komunikasi jarak jauh dengan sistem dokumentasi hasil yang akurasi rekaman pendataannya sangat baik dan dapat dipercaya serta sangat mudah untuk dilaksanakan dalam rangka memenuhi kebijakan Pemerintah dalam situasi darurat pandemic covid-19 melakukan kegiatan pekerjaan dirumah saja (Work From Home/WFH).

Pencegahan pandemik Covid-19

Adanya pandemic covid-19 pada kenyataannya telah berdampak sangat serius dalam pelaksanaan tugas jabatan Notaris tidak dapat berhubungan dan/atau berhadapan secara langsung dengan para pihak yang membutuhkan pelayanannya terkait dengan adanya anjuran bekerja di rumah saja (WFH), sehingga Notaris dapat melaksanakan tugas jabatannya dengan tidak melanggar ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris tanpa melanggar aturan hukum yang menghendaki dalam situasi pandemic covid-19 dengan cara melakukan kegiatan di rumah saja.

Selain itu, dalam pelaksanaan tugas-tugas jabatan Notaris sebagai pejabat umum yang melaksanakan sebahagian tugas pemerintahan dalam pelayanan publik dibidang keperdataan yang pada akhirnya Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP-INI) mengeluarkan surat dibawah Nomor: 65/33-III/PP-INI/2020 tertanggal 17 Maret 2020 terkait dengan himbauan pencegahan covid-19 dan suratNomor : 67/36-III/PP-INI/2020 tertanggal 23 Maret 2020 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (untuk selanjutnya disingkat : PP-INI) dalam rangka pencegahan penyebaran covid-19 terkait pelaksanaan pengalihan kegiatan pelayanan pekerjaan di rumah yang dianjurkan pemerintah, yaitu :

  1. Work from home tidak termasuk salah satu bentuk pelanggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Untuk selanjutnya disingkat : UUJN-P) yang menyatakan larangan Notaris dalam melaksanakan jabatannya.
  2. PP-INI menegaskan terkait dengan pelayanan publik dalam menjalankan tugas-tugas jabatannya untuk membuat “perjanjian, perbuatan, atau rapat” yang menurut peraturan perundang-undangan dalam setiap dokumennya dapat dibuat di bawah tangan, agar dicantumkan klausula “akan dibuat/dinyatakan kembali dalam akta autentik segera setelah darurat covid-19 dicabut oleh Pemerintah.”

Berdasarkan kebijakan PP-INI dan setelah mencermati perkembangan keadaan situasi penyebaran covid-19 yang semakin hari semakin cepat ditandai dengan himbauan Pemerintah Republik Indonesia agar melakukan kegiatan pekerjaan dirumah saja, dan upaya cegah tangkal untuk memutus mata rantai penyebaran virus covid-19 harus dilakukan secara terstruktur, sistematik dan massif melalui tindakan yang konsisten dengan mewajibkan setiap warga harus senantiasa tunduk dan patuh kepada setiap instruksi Pemerintah Republik Indonesia yang berkaitan dengan pelaksanaan upaya pencegahan penyebaran virus covid-19 melalui kebijakan umum (public police) sebagai berikut :

  1. Social distancing terkait dengan adanya pembatasan aktivitas sosial yang melibatkan banyak orang;
  2. Public distancing terkait dengan pembatasan kegiatan keramaian dan/atau berkumpul yang melibatkan banyak orang;
  3. Physical distancing terkait dengan komunikasi tatap muka yang sebaiknya dilakukan menjaga jarak tertentu 1 meter.

Menurut Edmon Makarim dalam bukunya Pengantar Hukum Telematika, (Jakarta : Raja Grafindo Persada), 2007, hal. 8 terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait perluasan teknologi yang terjadi yaitu:

  1. Teknologi terdiri dari informasi yang mampu mengaplikasikan semua tahapan dari perencanaan, organisasi, dan operasi suatu industri atauperusahaan (komersial) dengan segala aktifitasnya.
  2. Teknologi mempunyai kontribusi untuk membuat setiap tahapan yang mencakup perencanaan, organisasi dan operasi kegiatan suatu industri atau perusahaan; maka teknologi tidak hanya terdiri dari scientific knowledge, tetapi pengetahuan bisnis atau organisasi.
  3. Teknologi bisa berupa teknologi yang berwujud (bertubuh) dan tidak berwujud.

Perkembangan situasi dan keadaan kedaruratan kesehantan terkait dengan penyebaran pandemik virus covid19 termasuk keadaan yang sangat luar biasa sehingga perlu dipertimbangkan kebijakan khusus dalam pelayanan publik yang memungkinkan dilaksanakan dengan tanpa melanggar aturan yang sudah ditetapkan, terutama dalam kaitannya tugas-tugas jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum yang hanya melaksanakan kegiatan di rumah saja (Work From Home/WFH) sesuai kewenangan yang ada berdasarkan Pasal 1 angka (1) UUJN yang menyatakan Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.

Selain itu, Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam menegakkan hukum, yaitu :

  1. Untuk dapat membuat akta otentik dan perbuatan-perbuatan hukum lainnya yang ditujukan agar dapat digunakan menjadi suatu alat bukti yang kuat jika suatu waktu nanti terjadi perselisihan terhadap para pihak atau adanya gugatan dari pihak lain.
  2. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh pejabat yang berwenang.
  3. Notaris sebagai pejabat umum yang menjalankan profesi dalam memberikan jasa hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.

Konsep Cyber Notary (e-Notary)

Frasa kata cyber notary terdiri dari dua suku kata yang kemudian membentuk suatu pengertian istilah hukum, yaitu :

  1. Suku kata Cyberyang berasal dari frasa kata cyberspace yang secara sederhana dimaksudkan sebagai dunia maya, dan
  2. Suku kata Notary yang secara sederhana dapat diterjemahkan Notaris yang menurut ketentuan Undang-Undang Jabatan Notaris dikenal sebagai pejabat umum yang mendapatkan kewenangan atribusi dari Negara untuk menjalankan sebahagian tugas pemerintahan di bidang hukum keperdataan.

Dengan demikan kedua suku kata tersebut diatas membentuk frasa kata cyber notary yang secara sederhana dapat diartikan Notaris sebagai Pejabat Umum dalam melaksanakan tugas jabatannya yang mempergunakan teknologi informasi dan komunikasi, yaitu :

  1. Kegiatan yang berbasis sistem digitalisasi media elekteronik yang dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya,
  2. Kegiatan yang terhubung secara langsung dengan jaringan internet (bersifat online) yang memungkinkan adanya pola hubungan sepihak maupun interaksi timbal balik jarak jauh,
  3. Kegiatan dengan sistem kerja yang melintasi ruang dan waktu tanpa batas yang dapat melibatkan banyak orang.

Selain itu, menurut Emma Nurita, dalam bukunya Cyber Notary Pemahaman Awal dalam Konsep Pemikiran, (Bandung : Refika Aditama), 2012, hal. 53, yang menjelaskan terkait dengan pengertian tehnis yuridis Cyber notary merupakan konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi bagi para Notaris untuk membuat akta autentik dalam dunia maya serta menjalankan tugasnya setiap hari. Misalnya penandatanganan akta secara elektronik dan Rapar Umum Pemegang Saham (RUPS) ecara teleconference. Hal ini bertujuan untuk mempermudah para pihak yang tinggalnya berjauhan, sehingga dengan adanya cyber notary, jarak tidak menjadi masalah lagi.

Cyber notary juga dimaksudkan untuk memudahkan atau mempercepat pelaksanaan tugas dan kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik mengenai semua perbuatan atau perjanjian atau ketetapan yang diharuskan Undang-Undang atau apa yang dikehendaki para pihak yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik.

Selanjunya, Edmon Makarim, dalam bukunya Tanggung Jawab Penyelenggara Sistem Elektronik, (Jakarta : Rajawali Pers), 2010, hal. 40, yang pada pokoknya menegaskan Istilah cyber notary dikenalkan pertama kali oleh American Bar Association(ABA) pada tahun 1994. Konsep ini mengandung makna bahwa seseorang yang melaksanakan kegiatancyber notaryadalah “seseorang yang mempunyai spesialisasi kemampuan dalam bidang hukum dan komputer”. Dalam konsep ini dipersepsikan bahwa fungsinya dipersamakan layaknya Notaris latin dalam memfasilitasi suatu transaksi internasional, dapat melakukan autentikasi dokumen secara elektronik, dan diharapkan dapat memverifikasi kapasitas hukum dan tanggung jawab keuangan.

Kemudian Edmon Makarim juga menambahkan asal-usul konsep cyber notarydapat dilacak pada dua sistem hukum, yaitu pada sistemcommon lawdancivil law. Terdapat dua istilah hukum yang sering dipersamakan, yaitu “Electronic Notary” (E-Notary) dan “Cyber Notary”. Istilah yang pertama, pertama kali dikenalkan oleh delegasi Perancis dalam sebuah forumlegal workshopyang diselenggarakan oleh Uni Eropa pada tahun 1989 di Brussel, Belgia. Esensinya, konsepE-Notarymenjadikan Notaris sebagai suatu pihak yang menyajikanindependent recordterhadap suatu transaksi elektronik yang dilakukan para pihak.

Pada prinsipnya menurut Irma Devita dalam tulisannya terkait Cyber Notary Sebatas Gagasan Atau Masa Depan?, https://irmadevita.com/2010/cyber-notary/, diakses pada tanggal 19 Nopember 2020 yang pada pokoknya menyatakan bahwa konsep cyber notary ditujukan untuk mempermudah transaksi antara para pihak yang tinggalnya berjauhan, sehingga jarak bukan menjadi masalah lagi. Misalnya, pemegang saham yang berada di Amerika, Jepang ataupun Singapura, dapat mengikuti RUPS dengan menggunakan media teleconference dengan pemegang saham yang ada di Indonesia, dengan disaksikan oleh Notaris di Indonesia. Sehingga, kehadiran fisik dari pemegang saham tersebut tidak diperlukan. Pemegang saham yang berada di luar negeri tersebut dapat dianggap tetap menghadiri RUPS dimaksud dan hak suaranya tetapi di hitung dalam quorum kehadiran. Demikian pula pada saat penanda-tanganan akta RUPS dimaksud, pemegang saham yang keberadaannya di luar negeri tersebut dapat menanda-tangani dokumen rapat secara elektronik.

Dalam praktek pelaksanaannya menurut Cyndiarnis Cahyaning Putri, Abdul Rachmad Budiono, dalam tulisannya berjudul Konseptualisasi Dan Peluang Cyber Notary Dalam Hukum, Jurnal JIPPK, Vol. 4 No.1, 2019. hal. 3, menyebutkan bahwa cyber notary tersebut masih memiliki kekurangan baik dalam hal pemaknaan hingga konseptualisasinya dalam pembuatan Akta melalui pranata cyber notary dikarenakan adanya kekosongan hukum antara makna dan peraturan pelaksanaan daripada cyber notary itu sendiri. Sehingga terlihat bahwasanya pranata cyber notary telah diatur namun memiliki kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam perspektif pemaknaannya yang menimbulkan akibat terhadap pranata cyber notary, sehingga menimbulkan kesukaran terhadap dilangsungkannya salah satu kewenangan Notaris.

Transformasi Digital

Media elektronik sebagai salah satu sarana yang memberikan kemudahan dalam melakukan pola interaksi kehidupan manusia yang terjadi sekarang ini tidak terlepas dari perkembangan teknologi digital yang telah memberikan kemudahan pada sebagian besar aspek kehidupan dengan perubahan pola berpikir (paradigma) dengan memenfaatkan inovasi teknologi digital, tertama dalam masa kedaruratan kesehatan sebagai akibat pandemik covid19 yang mengharuskan adanya pola interaksi kehidupan manusia melalui kewajiban Social distancing terkait dengan adanya pembatasan aktivitas sosial yang melibatkan banyak orang dan Public distancing terkait dengan pembatasan kegiatan keramaian dan/atau berkumpul yang melibatkan banyak orang serta Physical distancing terkait dengan komunikasi tatap muka yang sebaiknya dilakukan menjaga jarak tertentu 1 meter.

Selain itu, perkembangan kebutuhan masyarakat yang mau tidak mau harus beradaptasi dengan proses percepatan transformasi digital pada masa era digitalisasi yang ditandai dengan Revolusi Industri 4.0 yang menghendaki perubahan mendasar dalam segala aspek kehidupan dengan perubahan paradikma berpikir dengan dari teknologi digital, dan untuk selanjutnya perkembangan inovasi terbaharu dikenal sebagai transformasi digital.

Transformasi Digital merupakan bahagian terpenting dalam penerapan teknologi digital yang berhubungan dengan perubahan pola interaksi dalam semua aspek kehidupan manusia, dan tidak terkecuali dalam pengembangan konsep cyber notary yang memungkinkan dalam menjalankan tugas jabatan Notaris yang dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang berbasis sistem digitalisasi media elekteronik yang terhubung secara langsung dengan jaringan internet (bersifat online, internet mainstream) yang kesemuanya merupakan salah satu bentuk inovasi transformasi digital yang telah dan akan terus mengikuti perkembangan rekayasa teknologi masa depan, termasuk dan tidak terbatas kepada perkembangan teknologi yang muncul seperti kecerdasan buatan (AI), cloud computing dan Internet of Things (IoT).

Pengembangan konsep cyber notary yang merupakan bahagian terpenting dan tidak terpisahkan dari perkembangan tehnologi terkini berupa inovasi baharu media elektronik yang menyebabkan terjadinya transformasi digital sangatlah tergantung kepada penguatan aturan yang berkenaan dengan perubahan regulasi atau aturan pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya, dan yang kesemuanya sudah barang tentu harus diikuti perubahan pola berpikir (paradigma) berupa pemahaman akan pentingnya manfaat teknologi digital maupun kesiapan sumber daya yang akan mempergunakannya.

Penggunaan teknologi canggih dalam era-globalisasi yang ditandai dengan adanya transformasi digital sekarang ini telah memberikan peluang lebih kuat untuk memberikan kemudahan dalam pola interaksi dalam segala aspek kehidupan yang diikuti dengan perubahan pola berpikir (paradigma) untuk memberikan respon positif terhadap berbagai peluang yang memberikan kemudahan, kecepatan dan ketepatan akurasi data maupun informasi yang diharapkan sebagai konsep bekerja yang sesuai dengan target penyelesaian tugas-tugas atau tujuan yang ingin dicapai. Konsep cyber notary melalui platform terbaru yang akan terhubung secara langsung pada jaringan internet dengan sitim yang berbasis sistem digitalisasi media elekteronik telah berkembang sebagai integrasi teknologi digital atau transforsi digital.

Konsep Cyber Notary (e-Notary) dalam UUJN

Keberadaan konsep cyber notary sebelumnya diperkenalkan dan telah mendapat dasar hukum penggunaannya terkait dengan “kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary)” sebagaimana tercantum dalam ketentuan Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (untuk selanjutnya disingkat UUJN-P) yang pada pokoknya yang menyatakan : “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, dan selanjutnya ditegaskan kembali pengertian tehnis yuridis dari “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan” sebagaimana dimaksudkan dalam penjelasan Pasal 15 Ayat (3) UUJN-P secara tegas disebutkan “Yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang”.

Dengan demikian berdasarkan penjelasan Pasal 15 Ayat (3) UUJN-P merupakan ‘interpretasi resmi’ (autentik) atas norma diatur dalam Pasal 15 Ayat (3) dengan memberikan batasan pengertian tehnis yuridis dari “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, yaitu kewenangan lain Notaris diantaranya :

  1. Mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary),
  2. Membuat akta ikrar wakaf, dan
  3. Membuat hipotek pesawat terbang.

Konsep cyber notary sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Pasal 15 Ayat (3) tidak secara lengkap memuat persyaratan tehnis maupun konstruksi yuridis dalam praktek pelaksanaan atau tegasnya konsep cyber notary terkait dengan kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary) tidak dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan, terutama yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas jabatan berupa kewenangan notaris yang tidak dapat dikwalifisir sebagai badan hukum untuk mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary) yang tentunya sangat bertentangan dengan ketentuan UU ITE yang menghendaki badan hukum yang mempunyai kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary).

Konsep Cyber Notary (e-Notary) dalam UUPT

Selain itu, konsep cyber notary juga dikenal dalam menyandarkan kegiatannya dengan mengandalkan jaringan internet dengan sistem yang dibangun melalui media elektronik sebagai sarana dalam penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dan yang selanjutnya disingkat e-RUPS, dan konsep cyber notary dapat dilihat berdasarkan ketentuan Pasal 77 ayat (1)Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (untuk selanjutnya disingkat UUPT) yang menyebutkan “Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.” Pasal 77 Ayat (4) yang menegaskan “Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.” Penjelasan dalam Pasal 77 Ayat (4) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan disetujui dan ditandatangani adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara elektronik.

Penyelenggaran Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) bagi perseroan terbatas merupakan suatu kewajiban yang wajib dilaksanakan, terutama RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir. Namun ditengah badai pandemik covid-19 yang telah ditetapkan pemerintah dalam keadaan situasi kedaruratan kesehatan, sehingga pelaksanaan RUPS tahunan yang menghendaki adanya kehadiran secara fisik (face to face) semua para pemegang saham mengadung risiko untuk dilakukan.

Penggunaan media elektronik dalam rangka kegiatan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham, yang dikenal sebagai e-RUPS merupakan salah satu bentuk terobosan hukum baru terkait dengan jalan keluar terbaik terkait dengan adanyai ketentuan dalam pelaksanaan RUPS yang menghendaki adanya kehadiran secara fisik dari semua para pemegang saham.

Berdasarkan ketentuanPasal 77Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatasterkait dengan penyelenggaraan RUPS melalui media elekteronik yang dapat dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya dalam pengertian tehnis yuridis yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :

  1. Penyelenggaraan RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya (Vide, Pasal 77 Ayat (1)).
  2. Penyelenggaran RUPS melalui media elekteronik dilaksanakan yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat (Vide, Pasal 77 Ayat (1)).
  3. Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan (Vide, Pasal 77 Ayat (2)).
  4. Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) (Vide, Pasal 77 Ayat (3))
  5. Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS dan dengan penjelasan yang dimaksud dengan “disetujui dan ditandatangani” adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara elektronik (Vide, Pasal 77 Ayat (4) dan penjelasannya).

Apabila diperhatikan persyaratan yang diatur dari UUPT terkait dengan penyelenggaraan e-RUPS melalui media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya lebih bersifat kumulatif yang mewajibkan semua syarat-syarat yang ditentukan harus secara sekaligus diikuti, tidak boleh ada satu syaratpun yang boleh dikesampingkan, yaitu :

  1. Setiap peserta e-RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat (Vide, Pasal 77 Ayat (1)),
  2. Setiap penyelenggaraan e-RUPS dihadiri dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu,
  3. Setiap Penyelenggaraan e-RUPS dapat diadakan dimanapun sepanjang dalam wilayah negara Republik Indonesia.
  4. Setiap hasil keputusan dari penyelenggaraan e-RUPS wajib dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS dan yang dimaksud dengan “disetujui dan ditandatangani” adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara elektronik (Vide, Pasal 77 Ayat (4) dan penjelasannya).

Lebih lanjut ketentuan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatasmenyatakan dalam Pasal 76 Ayat (1), “RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar”, dengan kelanjutan sebagai berikut :

  1. Pasal 76 Ayat (2) : RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat

kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan.

  1. Pasal 76 Ayat (3) :Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) harus terletak di wilayah negara Republik Indonesia.
  2. Pasal 76 Ayat (4) : Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan dimanapun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3).

Penjelasan Pasal 76 Ayat (4) menerangkan bahwa, “Yang dimaksud dengan “ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3)” adalah RUPS harus diadakan di wilayah negara Republik Indonesia, dengan kelanjutan Pasal 76 Ayat (5) menyatakan “RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (4) dapat mengambil keputusan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat”.

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam Pasal 77 menjelaskan penyelenggaraan RUPS melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat, memenuhi persyaratan kuorum dan jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan dimanapun sepanjang dalam wilayah negara Republik Indonesia, dan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

Dengan demikian persyaratan yang diatur dari UUPT terkait dengan penyelenggaraan e-RUPS melalui media telekonferensi, video konferensi atau sarana media elektronik lainnya sebagaimana tercantum pada Pasal 77 Ayat (1), (2), (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dapat disimpulkan :

  1. Penyelenggaraan e-RUPS tidak secara tegas memberikan dasar kewenangan Notaris dalam pembuatan akta RUPS dan apalagi juga hasil RUPS tidak diharuskan diperbuat dalam bentuk akta autentik.
  2. Apabila Notaris diberikan peran dalam penyelenggaraan e-RUPS perlu adanya aturan tehnis berupa penyempurnaan yang dianggap perlu sebagai dasar legalitas bagi Notaris untuk membuat hasil risalah e-RUPS yang akan dituangkan dalam bentuk akta Notaris berupa akta pejabat (relaas acten).

Dalam praktek pelaksanaannya menurut Cyndiarnis Cahyaning Putri, Abdul Rachmad Budiono, dalam tulisannya Konseptualisasi Dan Peluang Cyber Notary Dalam Hukum, Jurnal JIPPK, Vol. 4 No.1, 2019. hal. 3 menyebutkan bahwa konsep cyber notary tersebut masih memiliki kekurangan baik dalam hal pemaknaan hingga konseptualisasinya dalam pembuatan Akta melalui pranata cyber notary dikarenakan adanya kekosongan hukum antara makna dan peraturan pelaksanaan daripada cyber notary itu sendiri. Sehingga terlihat bahwasanya pranata cyber notary telah diatur namun memiliki kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam perspektif pemaknaannya yang menimbulkan akibat terhadap pranata cyber notary, sehingga menimbulkan kesukaran terhadap dilangsungkannya salah satu kewenangan Notaris.

Meskipun demikian keberadaan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatasmerupakan salah satu terobosan hukum yang cukup responsif mengikuti perkembangan yang ada pada saat itu tahun 2007 telah mengatur penyelenggaraan RUPS dengan memanfaatkan perkembangan teknologi yang pada akhirnya pelaksanaan RUPS dapat dilakukan melalui media elektronik seperti telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya.

Konsep Cyber Notary (e-Notary) dalam POJK

Khusus bagi perusahaan terbuka (Tbk), legalitas pelaksanaan RUPS elektronik terdapat pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 15/POJK.04/2020 tentang Rencana Dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 16/POJK.04/2020 tentang Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka Secara Elektronik.

Perusahaan Terbuka mempunyai kewajiban untuk melaksanakan RUPS yang dalam perkembangannya sekarang ini dimungkinkan dilakukan secara elektronik berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor 16/POJK.04/2020, dan dasar pertimbangan hukum keberlakuan POJK Nomor 16/POJK.04/2020 juga dimaksudkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 23 ayat (1) huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana termuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 87, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6485.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia Nomor : 16/POJK.04/2020 Tentang Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka Secara Elektronik, dan ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 April 2020 oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 April 2020 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagaimana termuat dalam Lembaran Negara Tahun 2020 Nomor : 104.

Adapun alasan hukum maupun dasar pertimbangan hukum dikeluarkannya POJK No.: 16/POJK.04/2020 pada prinsifnya terkait dengan latar belakang adanya ketentuan formalitas yang harus diikuti berupa tahapan prosedur penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) oleh Perusahaan Terbuka (PT.Tbk) yang oleh ketentuan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas dan/atau anggaran dasar Perusahaan Terbuka yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (terutama RUPS Tahunan), yaitu :

  1. Besaran jumlah para pemegang saham yang jumlahnya cukup banyak,
  2. Sebaran geografis hak kepemilikan atas saham yang saling berjauhan, berlainan domisili/tempat tinggal yang berbeda-beda melintasi batas Kabupaten/Kota atau Provinsi atau bahkan melintasi batas negara dan yang akibatnya akan menimbulkan banyak kendala dalam praktek pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham berupa :
  3. Penetapan lokasi tempat dilaksanakannya Rapat Umum Pemegang Saham,
  4. Pemenuhan kuorum kehadiran RUPS,
  5. Kuorum pengambilan keputusan maupun bentuk risalah keputusan rapat umum pemegang saham.

Pelaksanaan RUPS perusahaan terbuka secara elektronik merupakan suatu terobosan baru dalam situasi pandemi covid-19 yang dimungkinkan adanya pelaksanaan RUPS secara elektronik yang pelaksanaan RUPS oleh Perusahaan Terbuka dengan menggunakan media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya

Selain itu, sistem penyelenggaraan RUPS secara elektronik yang selanjutnya disingkat e-RUPS yang terhubung secara lansung melalui jaringan internet (online) dengan menyandarkan kepada sistem atau sarana elektronik yang disediakan oleh pihak pengelola e-RUPS dengan tujuan penggunaannya adalah :

1.Pengguna e-RUPS dapat melaksnakan interaksi virtual yang melibatkan Perusahaan Terbuka, partisipan, biro administrasi efek, pemegang saham, dan pihak lain yang ditetapkan oleh penyedia e-RUPS.

2.Terintegrasi dalam sistem penyelenggaraan RUPS secara elektronik yang hasilnya berupa penyediaan informasi, pelaksanaan, dan pelaporan RUPS Perusahaan Terbuka.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dari POJK No.: 16/POJK.04/2020 ditegaskan terkait dengan Penyelenggaraan RUPS oleh Perusahaan Terbuka wajib mengikuti ketentuan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai rencana dan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka, kecuali diatur khusus dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan ini, dan yang kemudian dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan yang dimaksud dengan “penyelenggaraan RUPS” meliputi semua kegiatan baik dalam rangka persiapan, pelaksanaan maupun kewajiban setelah pelaksanaan RUPS antara lain :

  1. Pemberitahuan kepada Otoritas Jasa Keuangan,
    1. Pengumuman, pemanggilan, termasuk ralat pemanggilan dan pemanggilan ulang,
    2. Kuorum RUPS, tata tertib RUPS, serta
    3. Pengumuman ringkasan risalah RUPS”.

Dalam pelaksanaan RUPS Perusahaan Terbuka Secara Elektronik sesuai ketentuan Pasal 4 Ayat (1) dapat dilakukan selain dengan menggunakan e-RUPS yang disediakan oleh Penyedia e-RUPS; atau dapat dengan menggunakan sistem yang disediakan oleh Perusahaan Terbuka, dan yang kemudian berdasarkan penjelasan Pasal 4 Ayat (1) disebutkan, bahwa “Pelaksanaan RUPS secara elektronik hanya dapat dilakukan dengan menggunakan 1 (satu) sistem elektronik”.

Beberapa ketentuan yang harus diikuti sesui ketentuan yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (4) terkait dengan pelaksanaan RUPS secara elektronik yang diselenggarakan oleh :

  1. Penyedia e-RUPS yang merupakan pihak yang disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) huruf b; atau
  2. Perusahaan Terbuka, dengan menggunakan sistem yang disediakan oleh Perusahaan Terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyedia e-RUPS atau Perusahan Terbuka wajib terhubung dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan biro administrasi efek untuk memastikan pemegang saham yang berhak hadir dalam RUPS.
  3. Pihak lain yang disetujui Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b wajib berbentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam penjelasan dalam Pasal 4 Ayat (1) disebutkan, bahwa “Yang dimaksud dengan “terhubung” adalah baik secara elektronik melalui sistem atau berdasarkan kesepakatan kerja sama secara langsung dengan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan biro administrasi efek”.

Penyelenggaran RUPS secara elektronik sesuai ketentuan POJK No.: 16/POJK.04/2020 juga telah memberikan kewajiban penyedia e-RUPS sebagaiman termuat dalam Pasal 6 Ayat (1) yang menyebutkan, bahwa Penyedia e-RUPS wajib paling sedikit :

  1. Terdaftar sebagai penyelenggara sistem elektronik dari instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. Menyediakan hak akses kepada Pengguna e-RUPS untuk dapat mengakses e-RUPS;
  3. Memiliki dan menetapkan prosedur operasional standar pelaksanaan RUPS secara elektronik melalui e-RUPS;
  4. Memastikan terlaksananya RUPS secara elektronik;
  5. Memastikan keamanan dan keandalan e-RUPS;
  6. Menginformasikan kepada Pengguna e-RUPS dalam hal terdapat perubahan atau pengembangan sistem termasuk penambahan layanan dan fitur e-RUPS;
  7. Menyediakan rekam jejak audit terhadap seluruh kegiatan pemrosesan data di e-RUPS untuk keperluan pengawasan, penegakan hukum, penyelesaian sengketa, verifikasi, dan pengujian;
  8. Memiliki dan menempatkan fasilitas pengganti pusat data dan pusat pemulihan bencana terkait penyelenggaraan e-RUPS di wilayah Indonesia pada tempat yang aman dan terpisah dari pusat data utama;
  9. Memenuhi standar minimum sistem teknologi informasi, pengamanan teknologi informasi, gangguan dan kegagalan sistem, serta alih kelola sistem teknologi informasi;
  10. menyimpan semua data pelaksanaan RUPS secara elektronik; dan
  11. Bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya dalam penyediaan dan pengelolaan e-RUPS.

Dengan demikian POJK No.: 16/POJK.04/2020 telah meletakkan dasar hukum atau kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan keabsahan konstruksi yuridis dalam sistem penyelenggaraan RUPS secara elektronik (e-RUPS) yang menyandarkan kepada sistem atau sarana elektronik yang disediakan oleh pihak pengelola e-RUPS dalam pelaksanaan RUPS oleh Perusahaan Terbuka dengan menggunakan media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya.

Tata Cara Pelaksanaan RUPS secara elektronik

Merujuk kepadan ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 8 Ayat (1) secara tegas disebutkan dalam pelaksanaan RUPS secara elektronik, Perusahaan Terbuka wajib:

  1. Memuat informasi mengenai rencana pelaksanaan RUPS secara elektronik dalam pemberitahuan mata acara RUPS kepada Otoritas Jasa Keuangan, pengumuman RUPS, dan pemanggilan RUPS; dan
  2. Menyelenggarakan RUPS secara fisik dengan dihadiri paling sedikit oleh :
    1. Pimpinan RUPS;
    2. 1 (satu) orang anggota Direksi dan/atau 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris; dan
    3. Profesi penunjang pasar modal yang membantu pelaksanaan

Tata Cara Pelaksanaan RUPS secara elektronik juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 8 Ayat (2) terkait dengan tempat pelaksanaan RUPS secara elektronik merupakan tempat dilaksanakannya RUPS secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan kemudian Ayat (3) juga menegaskan pemegang saham atau Penerima Kuasa dari pemegang saham dapat hadir secara fisik maupun secara elektronik melalui e-RUPS yang disediakan oleh Penyedia e-RUPS atau sistem yang disediakan oleh Perusahaan Terbuka.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 8 Ayat (4) jumlah pemegang saham atau Penerima Kuasa dari pemegang saham yang dapat hadir secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat ditetapkan oleh Perusahaan Terbuka dengan ketentuan pemegang saham atau Penerima Kuasa dari pemegang saham yang lebih dahulu menyatakan akan hadir secara fisik lebih berhak untuk hadir secara fisik dibanding yang menyatakan kemudian, sampai dengan terpenuhinya jumlah yang telah ditetapkan, dan kemudian Ayat (5) Kehadiran pemegang saham secara elektronik melalui e- RUPS yang disediakan oleh Penyedia e-RUPS atau sistem yang disediakan oleh Perusahaan Terbuka dapat menggantikan kehadiran pemegang saham secara fisik dan dihitung sebagai pemenuhan kuorum kehadiran.Dalam penjelasan pasal 8 Ayat (4) disebutkan, bahwa “Ketentuan ayat ini menegaskan bahwa Perusahaan Terbuka dapat menetapkan jatah atau kuota pemegang saham atau kuasanya yang dapat hadir secara fisik dalam RUPS. Jika jumlah pemegang saham atau kuasanya yang menyatakan akan hadir secara fisik melebihi jatah atau kuota yang tersedia, maka penentuan pemegang saham atau kuasanya yang berhak hadir secara fisik didasarkan pada metoda first in first served. Pemegang saham atau kuasanya yang menyatakan akan hadir secara fisik namun tidak memperoleh tempat berdasarkan metoda first in first served dapat tetap hadir secara elektronik”.

Penyelenggaraan e-RUPS sesuai ketentuan Pasal 8 Ayat (5) dilaksanakan secara berurutan dengan efisien, yang harus memuat kegiatan paling sedikit :

  1. Pembukaan;
  2. Penetapan kuorum kehadiran;
  3. Pembahasan pertanyaan atau pendapat yang diajukan oleh pemegang saham atau kuasa pemegang saham yang diajukan secara elektronik pada setiap mata acara;
  4. Penetapan keputusan setiap mata acara berdasarkan kuorum pengambilan keputusan; dan

POJK No.: 16/POJK.04/2020 juga telah memberikan jalan keluar terkait dengan Tata Cara Pelaksanaan RUPS secara elektronik sebagaimana dimuat dalam Pasal 9 Ayat (1), yaitu apabila dalam kondisi tertentu, Perusahaan Terbuka dapat tidak melaksanakan RUPS secara fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b atau melakukan pembatasan kehadiran pemegang saham secara fisik baik sebagian maupun seluruhnya dalam pelaksanaan RUPS secara elektronik.

Dengan demikian berdasarkan POJK No.: 16/POJK.04/2020 terkait dengan penyelenggaraan dan pelaksanaan RUPS Elektronik pada perusahaan terbuka dapat dilakukan dengan tata cara:

  1. Rencana RUPS secara elektronik harus dinyatakan dalam pemberitahuan agenda kepada OJK, pengumuman dan pemanggilan RUPS
  2. RUPS fisik tetap diadakan dengan dihadiri pimpinan RUPS, 1 anggota Direksi dan/atau Dewan Komisaris dan profesi penunjang pasar modal yang membantu RUPS.
  3. Pemegang saham atau penerima kuasa dapat hadir fisik secara terbatas dengan prinsip first in first served.
  4. Pemberian suara (termasuk perubahan dan pencabutannya) dapat dilakukan setelah pemanggilan RUPS sampai dengan pembukaan masing-masing mata acara yang memerlukan pemungutan suara dalam RUPS, namun penyedia e-RUPS wajib merahasiakan suara yang telah diberikan sampai pada saat perhitungan suara.
  5. Pemegang saham dengan hak suara yang sah yang telah hadir secara elektronik, namun tidak menggunakan hak suaranya atau abstain, dianggap sah menghadiri RUPS dan memberikan suara yang sama dengan suara mayoritas pemegang saham yang memberikan suara dengan menambahkan suara dimaksud pada suara mayoritas pemegang saham.

Dalam pelaksanaan e-RUPS tersebut dalam praktek ternyata masih menimbulkan permasalahan atau perdebatan dalam penyelenggaraannya, terutama apabila dikaitkan dengan ketentuan yang diatur Pasal 1 angka 7 UU Jabatan Notaris yang menyatakan bahwa “Akta Notaris adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tatacara yang ditetapkan Undang-Undang ini”, dan sebaliknya berdasarkan ketentuan Pasal 12 POJK Nomor 16/POJK.04/2020 bahwa “risalah RUPS secara elektronik wajib dibuat dalam bentuk akta notariil oleh Notaris yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan tanpa memerlukan tanda tangan dari peserta RUPS”.

Mengenai kehadiran fisik para pihak yang diatur dalam POJK Nomor 15/POJK.04/2020 tentang Rencana dan Penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka dan POJK Nomor 16/POJK.04/2020 tentang Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Perusahaan Terbuka Secara Elektronik, kehadiran dapat terbagi menjadi dua jenis, yaitu :

  1. Kehadiran secara fisik dan
  2. Kehadiran secara elektronik, baik hadir untuk diri sendiri dan hadir sebagai kuasa berdasarkan surat kuasa fisik dan surat kuasa elektronik (e-proxy).

Problema yuridis juga menimbulkan kendala terkait dengan ketentuan Pasal 16 Ayat (1) huruf c UUJN yang menentukan adanya kewajiban para penghadap melekatkan surat dan dokumen sidik jari padaminuta akta, dan dari ketentuan “melekatkan surat dan dokumen sidik jari” sudah barang tentu merupakan perbuatan yang langsung berhadapan dan menghendaki adanya kehadiran fisik para penghadap dihadapan Notaris.

Penggunaan konsep cyber notary sesuai penjelasan Pasal 15 Ayat (3) UUJN bilamana dikaitkan dengan norma hukum yang diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf c UUJN seolah-olah telah terjadi pertentangan yang sedemikian tajam, terleh-lebih apabila dipertentangkan dengan ketentuan Pasal 16 Ayat (1) huruf m UUJN yang menyebutkan dalam menjalankan jabatannya Notaris berkewajiban membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat dibawah tangan dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Konsep cyber notary yang diperkenalkan berdasarkan penjelasan Pasal 15 Ayat (3) UUJN-P yang merupakan ‘interpretasi resmi’ (autentik) atas norma diatur dalam Pasal 15 Ayat (3) dengan memberikan batasan pengertian tehnis yuridis dari “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, yaitu kewenangan lain Notaris diantaranya “Mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary)”, dan terkait dengan proses sertifikasinya atas transaksi elektronik bilamana dihubungkan dengan keberlakuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 (UU ITE) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Angka 10 bahwa “Penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut haruslah badan hukum”, dan Notaris dalam kedudukannnya sebagai Pejabat Umum tidak dapat dikwalifisir sebagai badan hukum yang dapat melakukan sertifikasi elektronik.

Notaris dalam pelaksanaan tugas jabatannya mempunyai kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (1) huruf m Undang-Undang Jabatan Notaris menyebutkan : dalam menjalankan jabatannya Notaris berkewajiban membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi atau 4 (empat) orang saksi khusus untukpembuatan akta wasiat dibawah tangan dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi. Kata hadir secara fisik, jika dijabarkan kata demi kata yaitu hadir dan secara fisik. Hadir artinya ada atau datang, demikian menurut pendapat R. Soeroso, dalam bukunya Perjanjian Dibawah Tangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 24. sedangkan menurut pendapat Erlinda Saktiani Karwelo, Sihabudin, Lucky Endrawati, dalam tulisannya Prospek Pembacaan Dan Penandatanganan Akta Notaris Melalui Video Conference, Jurnal Hasil Riset, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 2014, hal. 13 kata fisik mempunyai arti badan atau jasmani, sehingga maksud hadir secara fisik yaitu ada secara jasmani dengan kata lain berwujud atau terlihat secara fisik. Penjelasan tentang hadir secara fisik menimbulkan kekosongan hukum pada Undang-Undang Jabatan Notaris karena video conference sebagai bagian dari kemajuan teknologi dapat mempertemukan dua pihak atau lebih ditempat yang berbeda dengan fasilitas.

Dengan demikian problema yuridis yang menjadi silang pendapat diantara para ahli maupun praktisi hukum terkait dengan adanya suatu pendapat dalam plaksanaan tugas jabatan Notaris dalam pembuatan akta autentik para penghadap berkewajiban hadir secara fisik atau secara langsung face to face berhadapan dengan Notaris, dan sebaliknya dalam pengembangan konsep cyber notary persyaratan kewajiban kehadiran secara fisik tidak mutlak diperlukan sehingga konsep kehadiran dilaksanakan melalui media elektronik yang terhubung secara langsung diantara para penghadap dengan Notaris..

Menurut pendapat Udin Narsudin, dalam tulisannya Urgensi E-Notary di saat Pandemi, Pergolakan antara Kepastian Hukum dengan Kemanfaatan Hukum Sumber: Urgensi E-Notary di saat Pandemi, Pergolakan antara Kepastian Hukum dengan Kemanfaatan Hukum, menegaskan : “Kehadiran fisik dari pemegang saham dalam RUPS Elektronik tidak mutlak diperlukan. Pemegang saham yang berada di luar negeri misalnya, dapat dianggap tetap menghadiri RUPStersebut dan hak suaranya tetapi dihitung dalam quorum kehadiran. Udin juga menuturkan pada saat penandatanganan akta RUPS yang dimaksud, pemegang saham yang keberadaannya di luar negeri tersebut dapat menandatangani dokumen rapat secara elektronik”.

Selain itu, menurut Edmon Makarim, dalam tulisannya Layanan Notaris Secara Elektronik dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, melalui https://law.ui.ac.id, diakses pada tanggal 19 Nopember 2020 menyebutkan “dengan tidak memenuhi kehadiran fisik yang dipersepsikan sebagai syarat mutlak dan tidak tergantikan oleh tatap muka secara elektronik, maka dikhawatirkan akan mempunyai konsekuensi hukum bagi Notaris”. Notaris merupakan bagian dari administrasi Pemerintahan dimana berdasarkan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Pelayanan Publik serta Undang-Undang Arsip, informasi elektronik telah diterima sebagai alat bukti dan memungkinkan pembuatan keputusan secara elektronik atas dasar informasi tersebut. Terkait dengan pembuatan akta pun menurut Edmon, tidak harus dipersepsikan hanya semata-mata dengan media kertas, sehingga secara fungsional pembuatan akta dapat dilakukan secara elektronik dengan tidak menafikan ketentuan yang berlaku.

Menurut pendapat Edmon Makarim, dalam tulisannya Layanan Notaris Secara Elektronik dalam Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, melalui https://law.ui.ac.id, diakses pada tanggal 19 Nopember 2020 yang menegaskan Persyaratan kehadiran secara fisik tidak bersifat mutlak dan penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi menghasilkan bukti yang tak dapat ditampik sehingga memenuhi kaidah ke autentikan dan mengamankan Notaris dari pertanggungjawaban teknis. Akta bawah tangan yang tidak ditampik oleh para pihak adalah berfungsi sebagaimana layaknya akta autentik.

Dalam rangka penerapan pelaksanaan ketentuan e-Notary perlu dipertimbangkan beberapa persyaratan tehnis yuridis sebagai berikut :

  1. Media elektronik sebagai alat yang dipergunakan oleh Notaris (e-Notary) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari para pihak yang berkepentingan dan yang nantinya akan menandatangani dokumen dan/atau akta secara elektronik.
  2. Penyedia sarana elektronik telah terdaftar pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu dan juga berkewajiban memiliki keahlian khusus dibidangnya (profesional) dengan personil dan sumber daya teknis yang memadai serta telah menyetujui persyaratan wajib untuk kepentingan penggunaan Media Elektronik terbatas yang hanya dapat dilihat oleh Notaris sesuai dengan kewajibannya merahasiakan isi maupun keterangan-keterangan yang diperolehnya dalam pembuatan Akta.
  3. Dalam e-Notary diantara para pihak yang berkepentingan berkewajiban menyatakan dirinya memiliki kewenangan bertindak untuk diri sendiri dan/atau sebagai Kuasa yang berhak untuk menandatangani dokumen atau akta.
  4. Para pihak yang berkepentingan mengakui dan menyatakan bahwa sehubungan dengan penandatanganan dokumen atau Akta menyatakan secara tegas mengerti setelah dibacakan, membaca sendiri dan juga dijelaskan oleh Notaris tentang apa yang menjadi maksud dan kehendak para pihak yang mengikatkan diri.
  5. Pada waktu menandatangani dokumen atau Akta para pihak menyatakan telah mengerti dan memahami sepenuhnya semua isi dokumen atau akta dan telah mendapatkan kesempatan yang memadai untuk memeriksa dan mengkonfirmasikan semua ketentuan yang termuat dalam dokumen atau Akta.

Dengan demikian penyelenggaraan e-RUPS terkaiat dengan pengembangan konsep cyber Notary atau e-Notary masih memerlukan penguatan dalam bentuk penyempurnaan yang berkaitan dengan aturan hukum yang dapat untuk diterapkan dalam pembuatan akta yang mempergunakan media elektronik, terutama dalam penyelenggaraan e-RUPS yang sedapat mungkin tidak boleh bertentangan dengan ketentuan formalitas yang harus diikuti berupa tahapan prosedur penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) oleh Perusahaan Terbuka.

Penggunaan media elektronik dalam rangka kegiatan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham, yang dikenal sebagai e-RUPS merupakan salah satu bentuk terobosan hukum baru terkait dengan jalan keluar terbaik terkait dengan adanya ketentuan dalam pelaksanaan RUPS yang menghendaki adanya kehadiran secara fisik dari semua para pemegang saham. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas membuka peluang untuk melakukan RUPS, melalui media teleconference sebagaimana yang tertera dalam Pasal 77 Ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa:

  1. Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
  2. Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
  3. Persyaratan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1).
  4. Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.

Selain itu, menurut pendapat Novie Susilawati, dalam tulisannya Tinjauan Yuridis Terhadap Penggunaan Video Teleconference Dalam Rapat Umum Pemegang Saham Terkait Dengan Tugas Dan Wewenang Jabatan Notaris, Jurnal Hukum dan Kenotariatan, Volume 4, Nomor 2, 2020, hal. 3 menyatakan penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu penyelenggaraan RUPS dengan melakukan pertemuan fisik secara langsung para peserta RUPS dan penyelenggaraan RUPS dengan tidak melakukan pertemuan fisik secara langsung para peserta RUPS, namun dimungkinkan semua peserta RUPS dapat saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat seperti menggunakan media teleconference, video teleconference, atau sarana media elektronik lainnya.

Selajutnya Yahya Harahap, dalam bukunya Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika), 2009, hal. 340. berpendapat Setiap penyelenggaraan RUPS, wajib dibuat risalah rapatnya. RUPS yang tidak dibuat risalahnya, tidak sah dan dianggap tidak pernah ada. Akibatnya, hal-hal yang diputuskan dan ditetapkan dalam RUPS tidak dapat dilaksanakan. Risalah RUPS dalam prakteknya dituangkan dalam suatu akta autentik yang dibuat oleh Notaris, yang biasa disebut dengan “Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham” atau risalah rapat yang dibuat dalam bentuk notulensi rapat yang berupa akta dibawah tangan dan kemudian akta tersebut dituangkan dalam bentuk akta autentik yang kemudian disebut sebagai akta pernyataan keputusan rapat umum pemegang saham.

Penyelenggaraan RUPS melalui media teleconference berdasarkan Pasal 77 Ayat (4) UUPT, mensyaratkan membuatkan risalah rapat harus disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS. Hal ini berbeda dengan RUPS secara konvensional, dalam ketentuan Pasal 90 UUPT. Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 76 UUPT mekanisme penyelenggaraan RUPS, ditentukan bahwa:

  1. RUPS diadakan di tempat kedudukan Perseroan atau di tempat Perseroan melakukan kegiatan usahanya yang utama sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar.
  2. RUPS Perseroan Terbuka dapat diadakan di tempat kedudukan bursa di mana saham Perseroan dicatatkan.
  3. Tempat RUPS sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) harus terletak di wilayah Negara Republik Indonesia.
  4. Jika dalam RUPS hadir dan/atau diwakili semua pemegang saham dan semua pemegang saham menyetujui diadakannya RUPS dengan agenda tertentu, RUPS dapat diadakan di manapun dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3).
  5. RUPS sebagaimaa dimaksud pada Ayat (4) dapat mengambil keputusan jika keputusan tersebut disetujui dengan suara bulat.

Transformasi digital sudah menjadi kebutuhan dalam praktek pelaksanaan tugas jabatan Notaris yang harus direspon secara positif karena telah memberikan kemudahan dalam rangka penyelenggaran RUPS dengan mempergunakan platform digital yang disediaan oleh penyelenggara e-RUPS yang dalam pelaksanaannya yang memungkinkan para pemegang saham dapat dilaksanakan pada waktu yang bersamaan meskipun para pemegang berada ditempat yang berbeda dan berjauhan.

Prosedur penyelenggaraan RUPS terdapat perbedaan antara PT Tertutup dengan PT Terbuka, yaitu :

1.a.Penyenggaraan RUPS dalam perseroan PT Terbuka biasanya mempunyai hak kepemilikan saham yang terbagi dalam jumlah yang lebih banyak dan dengan tempat tinggal berjauhan yang melintasi batas Provinsi bahkan batas antar Negara (trans nasional) yang akibatnya sangat sulit untuk mempertemukannya secara fisik dalam satu tempat secara bersamaan yang dilaksanakan dalam satu Kota atau Kabupaten, dan

  1. Penyenggaraan RUPS dalam perseroan PT. Tertutup relatif lebih mudah untuk dilaksanakan disebabkan kebiasaannya para pemegang sahamnya tidak banyak dan diantara mereka para pemegang saham berada dan memiliki tempat tinggal dalam satu wilayah Provinsi atau Kabupaten/Kota.

2.a.Pengaturan Penyenggaraan RUPS dalam perseroan PT Tertutup telah diatur secara lengkap dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), dan

Komentar Untuk Berita Ini (0)

Kirim Komentar

Nama
Lokasi
Email
URL
Komentar
  captcha contact us
Silakan masukkan kode diatas